Wednesday, December 31, 2008

Walikota Teladan 2008 dari Tarakan

JUSUF SERANG KASIM, WALI KOTA TARAKAN

Mimpi Melahirkan Singa Kecil
Puluhan tahun memimpin rumah sakit, Wali Kota Jusuf Serang Kasim berhasil menyembuhkan Tarakan dari sejumlah penyakit kronis.
BAU, seperti aroma udang busuk, menyelinap masuk mobil Kijang Innova Jusuf Serang Kasim. Tak begitu santer, tapi cukup untuk membuat Wali Kota Tarakan yang sedang melintasi halaman dermaga feri itu terganggu. Ia memencet nomor telepon, menghubungi Kepala Dinas Kebersihan Kota. ”Bau sekali di dermaga, tolong dicek sumbernya,” kata Pak Wali Kota. ”Saya minta laporannya segera.”
Memimpin Tarakan sejak 1999, sang Wali Kota tampak paham benar aneka persoalan yang hinggap di pulau sebelah timur Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia itu. Tiap pagi ia menerima puluhan tamu, masing-masing menyampaikan urusannya: dari masalah pengelolaan sampah sampai tagihan listrik, dari percetakan buku hingga soal mutu pendidikan. Dari situ ia bergerak ke lapangan, mengecek persoalan berikut perkembangannya. Rutinitas yang sudah bertahun-tahun.
Jusuf terobsesi membuat Tarakan jadi Singapura kecil: negeri pulau yang menjadi pusat keuangan dunia, dengan pelayanan kesehatan yang mondial, ditata dengan manajemen pemerintahan yang baik. Ketika itu, Tarakan masih bayi, baru dua tahun disapih oleh induknya, Kabupaten Bulungan. Terdiri atas pulau yang terpisah dengan Kalimantan daratan, kota baru ini memiliki luas sekitar 250 kilometer persegi—hampir separuh luas Singapura. Saat itu penduduknya baru sekitar 115 ribu orang atau tiga persen penduduk Negeri Singa.
Potensi Tarakan tak kalah dengan Singapura, katanya. Posisinya strategis, merupakan pusat transit perdagangan antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Karena posisinya itu, Jepang dan Sekutu pernah memperebutkan Tarakan dalam Perang Pasifik, 1942-1945.
Tapi Tarakan pada 1999 adalah kota yang sakit: uang tak punya, sampah menggunung di mana-mana, gedung sekolah reyot, orang-orang kaya pun menyekolahkan anaknya ke luar pulau. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, itu juga melihat bibir pantai sebelah timur terus tergerus Laut Sulawesi, dan hutan bakau penjaga napas penduduk Tarakan terkikis dengan cepat.
Dari hasil diagnosisnya, ia memutuskan mendahulukan persoalan yang sudah kronis: sampah. Tak ada uang di kas pemerintah, ia mengumpulkan 11 pengusaha lokal untuk memulainya. Ketika itu, terkumpul Rp 1,3 miliar dari mereka. ”Saya berjanji mengembalikannya dalam setahun,” tuturnya.
Utang itu ia simpan dalam deposito bank. Bunganya dipakai buat menyewa beberapa truk pengangkut sampah. Satu setengah bulan menjadi wali kota, ia memindahkan pengelolaan sampah dari Dinas Kebersihan Kota ke swasta. Pengelolaan truk-truk pengangkut sampah yang kemudian bisa dibeli juga diserahkan ke perusahaan partikelir. Dari tahun ke tahun, truk terus bertambah.
Bahkan kota ini kemudian menerima hibah dari pemerintah Jepang: sepuluh truk pengangkut sampah tertutup, dua bus kota, dua bus pengangkut penumpang bandara, tiga mobil ambulans, dan tiga pemadam kebakaran. ”Kami menjadi pemulung karena itu mobil-mobil bekas yang lalu kami perbaiki di Surabaya,” ujarnya. ”Biayanya sekitar Rp 3,5 miliar untuk semua.”
Pengelolaan sampah bukan sekadar soal kebersihan. Jusuf menganggap sampah sebagai cermin manajemen pemerintah. Sampah yang berserakan tanda manajemen yang amburadul. Ia juga berpendapat penanganan sampah harus menjadi bagian dari materi pendidikan di sekolah-sekolah.
Dari urusan sampah, ia melangkah ke persoalan pendidikan. Ia menjumpai tiga sekolah dasar terkonsentrasi di satu kawasan. Untuk efisiensi, ia membongkar dua bangunan dan menyatukan tiga sekolah itu menjadi satu manajemen. ”Ada kepala sekolah yang menggugat ke pengadilan tata usaha negara, tapi kami menang,” ujarnya.
Tarakan membangun fisik gedung-gedung sekolah dengan baik. Gedung Sekolah Menengah Pertama 1, misalnya, dibangun sangat megah: terdiri atas bangunan tiga lantai melingkar, dilengkapi laboratorium komputer dan bahasa, dengan toilet yang terawat bersih. Kelas-kelasnya teratur, dengan bak sampah yang memisahkan sampah organik dan non-organik dipasang di halaman.
Bangunan megah serupa dibangun untuk sekolah dasar dan sekolah menengah atas. Kompleks Universitas Borneo yang besar didirikan di perbukitan di luar kota, di tepi jalan menuju pantai timur Tarakan. Penampilan fisik fasilitas pendidikan ini penting, menurut Jusuf, untuk meningkatkan kebanggaan guru, memberikan rasa aman bagi orang tua buat menyekolahkan anaknya, dan pada akhirnya memberikan gairah belajar pada siswa.
Pada saat yang sama, pemerintah Tarakan membentuk tim peningkatan mutu pendidikan buat menyusun peranti lunak sekolah-sekolah itu. Tim tersebut terdiri atas sejumlah doktor lulusan berbagai universitas. Tunjangan guru, kepala sekolah, dan pengawas juga ditingkatkan. Pada 2003, guru memperoleh tambahan Rp 525 ribu, kepala sekolah Rp 825 ribu, dan pengawas Rp 875 ribu per bulan, plus sepeda motor. Kini jumlah tunjangan itu sudah di atas Rp 1 juta.
Untuk meningkatkan kemampuan, para guru sekolah dasar memperoleh pendidikan tambahan hingga memperoleh gelar sarjana di Universitas Borneo. Semua dibiayai pemerintah. Berbagai langkah itu memakan seperlima lebih anggaran Tarakan selama empat tahun terakhir. ”Langkah itu dilakukan agar profesi guru menjadi terhormat, dan mereka bisa menjadi andalan kami membangun sumber daya yang andal,” kata Jusuf.
Jusuf mengorbankan biaya pembangunan kantor wali kota buat membangun gedung-gedung sekolah itu. Berbeda dengan kantor pemerintah kabupaten atau kota di tempat lain, gedung Wali Kota Tarakan tak dibangun besar-besar. Dinding ruang kerja Jusuf dibuat dari tripleks. Total biaya pembangunan kantor itu Rp 2,9 miliar—sepersepuluh biaya pembuatan gedung Sekolah Menengah Pertama 1. Bandingkan dengan sebuah kantor kabupaten di wilayah itu, yang dibangun empat lantai, lengkap dengan lift, padahal listrik di sana kembang-kempis.
Buat melayani dunia usaha, Tarakan membangun pusat pelayanan terpadu yang dinamai ”Gadis”—akronim dari gabungan dinas. Izin usaha gampang didapat. ”Dibanding di daerah lain, pelayanan di Tarakan cukup cepat dan mudah,” kata seorang pengusaha kelapa sawit yang enggan ditulis namanya.
Lalu giliran hutan bakau yang dihuni bekantan (monyet dengan hidung seperti jambu air) di tengah kota. Dari 9 hektare, luas hutan itu kini berkembang menjadi 22 hektare. Perjuangan yang tidak mudah. ”Dulu saya menanam bibit-bibit bakau di lahan-lahan yang ada,” kata Dullah Kadir, 71 tahun, yang ikut merintis hutan itu. ”Saya pernah dikejar-kejar penjaga tanah yang membawa parang karena mereka menganggap tanah itu milik perusahaan tempat mereka bekerja.”
Buat membendung gerusan Laut Sulawesi, Tarakan melakukan reklamasi di Pantai Amal Indah sepanjang 2,7 kilometer. Proyek pengurukan kembali daratan selebar 40 meter ini masih berlangsung. Tempat itu, menurut rencana, akan dijadikan kawasan bebas emisi dan bebas polusi. Kelak hanya pejalan kaki serta pengendara sepeda dan kendaraan tak bermotor lainnya yang boleh masuk.
Jusuf juga menyulap kawasan-kawasan tak berguna menjadi taman kota. Setidaknya ada tiga taman di kota ini, dan satu di antaranya dibuat di lahan bekas kebun kangkung. Semua taman dilengkapi fasilitas hotspot, dengan deretan bangku untuk pengunjung. Taman itu menghidupi para pedagang makanan dan minuman setempat. ”Saking senangnya membuat taman, dulu Pak Wali Kota pernah dijuluki ’wagiman’, wali kota gila taman,” ujar Untung, pegawai negeri di kota ini.
Pada 2004, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tarakan kembali memilihnya menjadi wali kota. Di bawah kepemimpinannya, Tarakan memperoleh 40-an penghargaan—termasuk Kalpataru. Yang paling mengesankan dari semua itu adalah pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas rata-rata nasional sejak 2001. Di akhir periode pertamanya, Tarakan bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi nasional: 12,71 persen.
Dengan sejumlah gebrakannya itu, Mei lalu Partai Golkar mengajukannya menjadi calon Gubernur Kalimantan Timur. Sayang, ia dan pasangannya kurang beruntung.
Andi Mallarangeng, juru bicara kepresidenan, yang ikut merintis model otonomi daerah, menilai Jusuf sebagai wali kota yang bisa memanfaatkan distribusi kekuasaan ke daerah. ”Dia kepala daerah yang sukses, cepat mengambil peluang otonomi untuk membangun wilayahnya. Dulu Tarakan nol, sekarang perlu dipertimbangkan.”
Dua periode kepemimpinannya akan berakhir Maret tahun depan. Singa kecil yang diimpikannya itu belum lahir. Dan kemungkinan obsesi itu menjadi kenyataan bergantung pada wali kota setelah Jusuf Kasim.
Luas: 250,8 kilometer persegi (darat) dan 406,53 kilometer persegi (laut)
Penduduk: 176.981 jiwa
Desa 20
Potensi Daerah: Pembangunan kota baru, satelit kota, pariwisata, perikanan, pembangkit listrik tenaga batu bara, perkebunan
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
95,5
56,6
56,8
Anggaran Belanja
451,7
672
1.109
Pendapatan per Kapita(Juta Rupiah)
2005: 17,7%
2006: 15,8%
2007: 17,61%
JUSUF SERANG KASIM Tempat dan tanggal lahir: Tarakan, 2 Februari 1944
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar
Karier:
Kepala Puskesmas Mamburungan, Tarakan (1976-1982)
Direktur Rumah Sakit Umum Tarakan (1987-1995)
Direktur Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Syahranie, Samarinda (1995-1999)
Direktur Rumah Sakit Islam Aisyah, Samarinda (1999)
Wali Kota Tarakan dua periode (1999-2009)

No comments: