Wednesday, December 31, 2008

Guru Teladan

Pak Candra

Guru Fisika Teladan Mendahului Kita


RSUD Saiful Anwar Malang, Ruang 21 Kamar Nomor 6, hari Rabu (3/12/ 2008), sekitar pukul 13.30 WIB.
Begitu memasuki ruangan tersebut, sosok pria yang saya kenal baik langsung menyambut dengan senyuman. Dua jempol tangannya diacungkan.
“Assalamu alaikum”, saya menyapa.
Saya menghampiri pria tersebut, menjabat tangan dan memeluknya. Saya ingin menggenggam tangannya lebih erat lagi, tapi saya mengurungkannya karena tangan tersebut sedang diinfus.
Pak Tjandra Heruawan (guru SMAN 10 Malang) dan Mohammad Ihsan (Sekjen Klub Guru Indonesia). Meski sakit, tetap berusaha tersenyum.
Pria yang tergolek sakit itu adalah Pak Tjandra Heruawan, “guru hebat” SMAN 10 Malang. Saya pertama kali menyaksikan kehebatan Pak Tjandra di Kick Andy. Selang beberapa waktu kemudian, dua sahabat baik saya, Ahmad Rizali dan Satria Dharma, mengenalkan secara langsung ketika kami sama-sama di Malang.
Jika Anda belum sempat nonton Kick Andy tersebut, video acara ini beredar luas di internet, salah satunya di Youtube (klik untuk melihat arsip video Kick Andy). Coba juga ketikkan “Tjandra Heruawan” di Google, informasi kiprah guru fisika yang satu ini tersedia cukup banyak untuk dibaca, di antaranya:
- Tjandra Heru Awan, Guru Kreatif Pencipta Peraga Fisika dari Barang Bekas (Indo Pos, 23 November 2007)- Tjandra, Mengajar dengan Hati (Liputan6.com)- Tjandra Heru Awan: Alat Praktek Barang Bekas (Pena Pendidikan)- Lihat Tumpukan Kardus, Langsung Terbayang Rumus (Dapat Hadiah Ibadah Haji dari Medco Foundation)- Tjandra Heru Awan, Pecipta Alat Peraga Sederhana, Namai Karyanya Molina, Molibandul dan SS10N (Fisika.net), dan banyak lagi lainnyaPak Tjandra adalah sosok yang humoris. “Saya ini guru yang TOP, mas”, katanya suatu kali. “Tuwek (tua), Ompong, Populer”. Kami berdua pun tertawa lebar. Pak Tjandra lalu memamerkan giginya yang sudah tak ompong lagi karena dibelikan Pak Shofwan, Kepala Diknas Malang.
Tapi, kini Pak Tjandra sedang sakit keras. Di ginjalnya bersarang tumor, bahkan sudah menjalar hingga paru-paru. Saya melihat sendiri bahwa itu sungguh sakit, karena sesekali saat kami berbincang beliau berhenti bicara, lalu meringis kesakitan dan memejamkan matanya. Seperti menahan serangan sakit yang amat sangat. “Terasa sakit pak?” saya bertanya. “Bagian mana yang sakit?”Pak Tjandra menunjuk pinggang kirinya. “Sering kambuh sakitnya?”“Iya. Apalagi pas batuk. Sakit sekali”. Saya terdiam.
“Ini peringatan dari Alloh, mas Ihsan”. Beliau mengisahkan cerita kenakalannya waktu muda. Ada penyesalan mendalam. Tak sadar air matanya mulai menetes. “Saya berdoa, Ya Alloh berilah saya rizki dan kesehatan. Tapi begitu diberi sehat, saya racuni dengan nikotin. Begitu dapat rizki, saya membakarnya”. Sebelum ini Pak Tjandra memang perokok. Tapi sudah berhenti sejak Ramadhan lalu. Tumor yang bersarang itu boleh jadi karena rokok yang dihisapnya selama bertahun tahun semenjak kecil.
“Sabar ya Pak”, saya menghibur. “Orang yang diberi sakit, lalu bersabar, itu akan melebur dosa-dosanya di masa lalu”.“Iya, mas. Alhamdulillah saya juga sudah sampai Madinah”. Pak Tjandra memang mendapatkan hadiah beribadah haji dari Medco Foundation. Saya melihat ekspresi kegembiraan saat beliau menceritakan perjalanan hajinya, dimana beliau katanya bisa bertaubat di tanah suci.Sebenarnya salah satu maksud saya membesuk Pak Tjandra kemarin adalah ingin mendapatkan kejelasan secara lengkap status sakitnya. Seberapa parah. Apa yang harus dilakukan. Apa yang masih kurang. Apa yang perlu dibantu. Tapi bahkan Pak Tjandra sendiripun jarang ketemu dokternya. Hanya perawat yang sering ke ruangan Pak Tjandra.Saya ingat beberapa hari sebelumnya sempat telpon, “Kapan operasinya, Pak Tjandra?”. Di rumah sakit sebelumnya (Pak Tjandra menyebutnya rumah sakit tentara), keputusannya memang harus segera dioperasi, tapi karena fasilitas di rumah sakit tersebut tidak memadai maka dirujuk ke RSUD Saiful Anwar. Jawaban Pak Tjandra cukup mengejutkan, “Nggak tahu mas, mungkin karena saya pakai Askes jadi penanganannya juga lambat”“Nggak coba dirawat di Surabaya?”. Saya kembali bertanya.“Biaya dari mana, mas?”, jawabnya. Saya terdiam.

Wali Kota Teladan 2008 dari Sragen

UNTUNG SARONO WIYONO SUKARNO, WALI KOTA SRAGEN
Dalang kota Digital
Semua desa dan kecamatan terhubung dalam jaringan Internet. Mendalang jadi ajang penyebaran program.
APEL pertama, Mei 2001, membuat kuping pegawai Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, memerah. Bupati baru, Untung Wiyono, melontarkan kalimat menohok. Tanpa tedeng aling-aling, ia menyebutkan pegawai negeri tak pernah kreatif, tak berdisiplin, apalagi inovatif. Birokrasi identik dengan kaku, rumit, tak transparan, dan berbelit-belit.
Citra buruk birokrasi pegawai negeri itu sudah begitu melekat. Untung, 58 tahun, memang pernah punya pengalaman pahit. Pengusaha minyak dan gas ini terganjal urusan birokrasi sehingga bisnisnya gagal. ”Saya pernah menangis karena soal itu,” katanya.
Pengalaman pahit itu mendorong Untung mereformasi birokrasi ketika memimpin Bumi Sukowati—nama lain Sragen. Ia mendatangkan konsultan untuk memberikan masukan sekaligus melatih di bidang pendidikan, pemberdayaan masyarakat, kesehatan, ekonomi, serta sistem teknologi informasi.
Ketika masih menjadi pengusaha, Untung memiliki 6.500 karyawan. Kantor barunya di Kabupaten Sragen pada 2001 mempunyai 13 ribu pegawai. Banyak sumber daya manusia tersedia tapi tak cakap dengan bidang tugasnya.
Untung pun menunda rekrutmen pegawai baru dalam dua tahun pertama. Ia baru menambah pasukannya pada akhir 2003. Sragen menjaring pegawai dengan standar nasional. Peserta menghadapi beberapa tahap, seperti tes pengetahuan umum, psikologi, kesehatan, bahasa Inggris, serta kemampuan komputer. Pelamar sarjana juga harus menyertakan sertifikat TOEFL dengan nilai minimal 500.
Pegawai lama dan baru kemudian mendapat pelatihan bahasa Inggris dan komputer rutin. Sragen pun kian berkembang. Badan pelayanan terpadu yang muncul pada 2002 selalu mendapat penghargaan. Tahun lalu, Sragen dinobatkan sebagai kabupaten terbaik penyelenggara pelayanan terpadu satu pintu dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Lewat badan ini, pembuatan kartu penduduk, misalnya, hanya perlu waktu dua menit. Sebanyak 59 perizinan, dari izin mendirikan bangunan hingga izin kursus, serta 10 jenis layanan nonperizinan, seperti akta pengangkatan anak, berlangsung lebih cepat.
Untuk mendukung pelayanan satu atap, Untung memasang jaringan Internet di semua desa dan kecamatan mulai tahun lalu. Sragen memiliki 208 desa dan 20 kecamatan. Setiap desa minimal memiliki dua komputer dengan kamera plus satu laptop. Dengan Internet, semua desa itu bisa memangkas biaya telepon karena menggunakan voice over Internet protocol (VoIP).
Komputer di desa itu terhubung dengan kecamatan, dinas, badan, serta kantor bupati. Mereka membangun jaringan intranet yang disebut kantor maya. Jadinya setiap kepala desa, dinas, atau badan bisa memberikan laporan harian kepada Bupati atau pejabat lain tanpa perlu repot mengirim kurir. Rapat bisa dilakukan dari tempat masing-masing. Lewat internet pula berbagai laporan keuangan bisa dipantau.
Sragen mempercayakan pembangunan infrastruktur jaringan Internet itu kepada pegawainya, dari membuat peranti lunak, membuat dan mengelola situs, hingga memasang menara pemancar. ”Satu-satunya pegawai negeri yang manjat tower, ya, di Sragen,” kata Budi Sulihanto, Kepala Bagian Penelitian, Pengembangan, dan Data Elektronik. ”Saban tahun, mereka menerima pembagian keuntungan, jadinya sejahtera, he-he-he...,” kata Untung kepada Tempo. Ia pun getol menularkan konsep jaringan Internetnya itu ke mana-mana.
Teknologi semakin menghapus jarak wilayah di Sragen. Sejumlah kegiatan bisa dilakukan hanya di depan komputer. Namun Untung tetap melakukan kegiatan rutin dengan menyambangi langsung masyarakat, misalnya dengan pergelaran wayang. Tiga pekan lalu, Untung manggung atas undangan Sunardi, petugas keamanan alias jogoboyo Desa Sunggingan, Kecamatan Miri.
Ia menjadi dalang dadakan pada sesi Limbukan. Pada bagian ini, sang dalang menampilkan tokoh Cangik dan Limbuk, ibu dan anak yang biasanya saling melempar guyonan. Dari obrolan ibu langsing dan putri gemuk itu, Untung menyisipkan pandangannya. Lewat Cangik, dia memaparkan jumlah kurban tahun ini. Sragen menjadi kabupaten dengan hewan sembelihan terbanyak se-Jawa Tengah, yakni 12 ribu kambing dan 1.200 sapi.
Cangik juga sangat cakap berbicara tentang pentingnya menggunakan produk sendiri. Sragen memang sedang mengembangkan pola makan hasil olahan lokal serta beras organik. Singkong, pisang, dan kacang rebus menjadi suguhan wajib di setiap kantor Sragen, termasuk dalam pentas wayang itu. ”Jadi, biarpun ada krisis global, warga Sragen tetap waras dan wareg,” kata Untung, eh, Ibu Cangik.
Untung menyukai seni wayang sejak remaja. Pria kelahiran Desa Jurangrejo, sekitar tiga kilometer dari Kota Sragen, ini mengagumi karakter Pandawa. Ia baru serius mendalami ilmu dalang setelah terpilih pada 2001. Ia berguru kepada dalang senior Sragen, seperti Nyi Harni Sabdowati, Bagong Kendang, dan Medot Sudarsonoputra, putra Ki Manteb Sudarsono.
Setelah kembali terpilih dengan suara mutlak 87,34 persen pada 2006, Untung meneruskan kariernya sebagai dalang. Ia bisa manggung sepuluh kali dalam sebulan. Untung pernah mendalang di ujung barat Sragen, Kecamatan Kalijambe, dan ujung timur, Sambungmacan, sejauh sekitar 44 kilometer. ”Wayang adalah sarana komunikasi paling dekat dengan rakyat,” ujar Untung.
Luas: 941,55 kilometer persegi
Penduduk: 867.572 jiwa
Keluarga Miskin: 52.666 pada 2007 dari 52.973 pada 2006
Desa: 208
Potensi Ekonomi: Pertanian (padi, tebu), peternakan (sapi, domba), perikanan air tawar
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
72,8
88.4
98,1
Anggaran Belanja
579
639,5
788,5
Pertumbuhan Ekonomi
2004: 4,53%
2005: 5,06%
2006: 6,8%
UNTUNG SARONO WIYONO SUKARNO Tempat dan tanggal lahir: Sragen, 16 Oktober 1950 Pendidikan: Sarjana Hukum Karier: - Ingram Inc. Singapura - SPEI Batignol Prancis, PT Foxboro Indonesia (1970-1983) - Direktur Utama PT Rekabaja Mandiri - Komisaris Utama PT Wira Matra Guna, Zee Engineering, dan PT Lombok Timur (1983-2001) - Bupati Sragen dua periode (2001-2011) Penghargaan: - 33 buah, termasuk Adipura (2004, 2005, 2006, 2007) - Kabupaten dengan Inovasi Pelayanan Satu Atap, Kabupaten Pro-Investasi

Bopati Teladan 2008 dari Jombang

SUYANTO, BUPATI JOMBANG

Ada Tenggat di Alun-Alun
Jombang berhasil mengembangkan pusat kesehatan masyarakat setara dengan rumah sakit kecil. Dokter spesialis tersedia hingga di pedesaan.
Malaikat penolong itu bisa ditemui kapan saja di Mojoagung, sebuah kota kecamatan di belahan timur Kabupaten Jombang. Di sanalah Maksum, petani dari Desa Mojotrisno, empat kilometer dari Mojoagung, bertemu penolongnya pada suatu pagi, dua pekan lalu. Mereka berbaju serba putih, namun—berbeda dari gambaran klasik malaikat penolong di kartu-kartu Hallmark—tanpa sayap. Dengan sigap dan santun, mereka bergegas menolong orang sakit, termasuk warga desa yang datang dengan gugup dan cemas karena dompet hampa.
Ya, malaikat penolong yang dimaksud Maksum adalah paramedis dan dokter di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) Mojoagung. Ini satu dari 21 kecamatan di seluruh Jombang, Jawa Timur. Maksum datang ke puskesmas itu setiap dia atau keluarganya sakit. Puskesmas memberinya pelayanan medis cuma-cuma.
Kamis dua pekan lalu, Maksum kembali datang bersama mertuanya yang akan menjalani operasi katarak. Hatinya berdebar membayangkan ongkosnya. Baru kali itu dia berurusan dengan penyakit mata ini. ”Mbayar mboten nggih?” (bayar tidak ya?),” ujarnya kepada Tempo. Mereka berangkat pukul 07.00 dari desa, ”Agar dapat nomor urut depan,” kata Maksum.
Ternyata operasi katarak rutin di puskesmas Mojoagung itu juga gratis, seperti penyakit lain. Pasien hanya perlu menyodorkan kartu jaminan kesehatan masyarakat. ”Atau surat keterangan miskin,” kata Sriwulani Sumargo, dokter spesialis radiologi di puskesmas Mojoagung. Maksum tersenyum. Hatinya lega bukan main.
Puskesmas Mojoagung lebih mirip rumah sakit kecil ketimbang pusat kesehatan di pedesaan atau kota kecamatan. Ada unit gawat darurat, klinik kebidanan, klinik gigi, laboratorium, alat USG dan rontgen, serta ruang rawat inap. ”Dalam kondisi darurat, kami mampu melakukan bedah kandungan,” ujar Sriwulani.
Bahkan klinik akupunktur—sesuatu yang langka untuk level puskesmas—pun tersedia. Pelayanan klinik ini rupa-rupa. Dari pengobatan hingga urusan kecantikan. ”Lumayan laris, bisa 150-an pengunjung sebulan,” kata Sriwulani.
Survei kepuasan pasien oleh Dinas Kesehatan Jombang tahun lalu memberikan skor 80,28 untuk puskesmas Mojoagung, dari skor tertinggi 100. Puskesmas Plumbon juga mendapat skor di atas 80. Artinya, banyak pasien pus dengan pelayanan mereka.
Awal 2005, pemerintah daerah itu meluncurkan program ”Puskesmas Idaman-Idolaku” dan ”Rumah Sakit Cintaku”. Penggagasnya Suyanto, Bupati Jombang. Tujuannya, menggenjot kualitas puskesmas dan rumah sakit yang kondisinya serba butut dan ”payah dalam layanan”. Puskesmas Mojoagung termasuk program percontohan pertama.
Suyanto memulainya dengan merayu sejumlah dokter spesialis agar mau bekerja di rumah sakit daerah dan puskesmas. Di Mojoagung dan Cukir, bupati itu menyediakan sarana canggih seperti peralatan roentgen. ”Saya sempat diprotes dinas kesehatan provinsi, masak naruh dokter spesialis di puskesmas,” kata Suyanto. Penampilan rumah sakit daerah juga dia permak habis-habisan. Ruang perawatan VIP (very important person) dibangun.
Beres di urusan fasilitas dan dokter, Suyanto ”mengutak-atik” tarif berobat. Ia ingin biaya dibuat seringan mungkin, kalau perlu gratis. Untuk kepastian tarif, ia menerbitkan peraturan daerah tentang tarif Puskesmas dan mengharuskan daftarnya dipajang di loket pendaftaran. Alhasil, ongkos berobat terjun bebas. Biaya cek darah, urine, atau tinja Rp 2.000. Operasi kecil Rp 20.000. Rawat inap komplet dengan tiga kali makan sehari? Jangan kaget, juga Rp 20.000.
Suyanto menjadikan puskesmas ujung tombak pelayanan kesehatan. Hasilnya? Pasien rawat inap di puskesmas terus bertambah. Pada 2005, jumlah pasien rawat inap 14.669 orang, pada 2007 menjadi 24.535. Kini Jombang punya 13 puskesmas rawat inap. Puskesmas Mojoagung dan Cukir bahkan sudah mengantongi sertifikasi ISO 9001:2000.
Bukan berarti tak ada kritik. Syaiful, warga Diwek, mengeluhkan seringnya dokter puskesmas tak ada lantaran sibuk rapat. ”Saya datang siang sedikit saja, mereka sudah pergi,” ujar Syaiful. Suyanto tak menampik. ”Saya memang masih butuh banyak dokter,” ujarnya.
l l l
Mulai memimpin Jombang sejak 2003, Suyanto terpilih lagi untuk masa jabatan kedua pada Juli lalu. Kabupaten Jombang adalah wilayah yang sarat kaum santri. Ada empat pesantren besar: Tebuireng, Denanyar, Rejoso, dan Tambakberas. Sejumlah tarekat, antara lain Wahidiyah, juga berpusat di sana. Untuk memikat hati rakyatnya, Suyanto bersikap ”tahu diri” dan terbuka. ”Kalau memang tidak mampu, bilang terus terang. Para kiai itu sangat fair, kalau bagus pasti ditepuki, kalau jelek ya diomeli,” katanya.
Bupati yang ramah dan mudah tertawa berderai itu juga gampang ditemui. Di rumah dinasnya, dia biasa menerima tamu hingga sebelum subuh. ”Saya tidur cukup satu-dua jam sehari,” katanya. Jika tak ada di rumah, silakan mencari Suyanto di warung nasi kikil ”Abang Mojosongo”, yang buka selepas tengah malam. Di warung itu—dua kilometer dari rumahnya—Suyanto biasa membahas kebijakan dengan anak buahnya.
Suyanto juga banyak mengutamakan dialog. Misalnya dalam menertibkan pedagang kaki lima di alun-alun. Pemerintah Jombang bersepakat dengan paguyuban pedagang. Mereka boleh berjualan sampai pukul 23.00. Lewat jam itu, tak boleh satu gerobak pun—berikut sampah-sampahnya—ada di sana. Sejak itu, alun-alun bersih dan rapi.
Luas: 1159,50 kilometer persegi
Penduduk: 1.340.229 jiwa
Keluarga miskin: 83.724 dari jumlah total 341.884 (2007)
Desa: 306
Potensi ekonomi: pertanian, perkebunan, peternakan
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
66
79
88
Anggaran Belanja
429
496
757
Pertumbuhan Ekonomi
2005: 5,34%
2006: 5,73%
2007: 6,07
SUYANTO Tempat dan tanggal lahir: Jombang, 5 Januari 1965 Pendidikan: - IKIP Surabaya (S-1, 1985) - Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (S-2, 2007) Karier: - Guru (1986-1994) - Wiraswasta (1994-2000) - Wakil Bupati Jombang (2000-2003) - Bupati Jombang dua periode (2003-2013) Penghargaan: - 22 buah, termasuk Adipura, Otonomi Award, PU Award, Departemen Pertanian

Wali Kota Teladan 2008 dari Blitar


DJAROT SAIFUL HIDAYAT, WALI KOTA BLITAR


Dengan Belimbing dan Kendang Jimbe

Di tangannya, birokrasi Kota Blitar jadi ramping. industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.
DJAROT Saiful Hidayat tak segan tampil beda di tengah zaman yang ditandai dengan gedung mentereng dan lampu sorot. Wali Kota Blitar ini menolak pembangunan mal mewah dan membatasi minimarket. Pedagang kaki lima diberi tempat leluasa. ”Saya bangga, kota saya dipenuhi pedagang kaki lima,” katanya.
Tentu saja, pedagang kaki lima di Blitar tak semrawut seperti cendol tumpah. Djarot menata 1.000-an pedagang kaki lima yang tadinya membikin kumuh kompleks alun-alun kota. ”Lumayan, satu kaki lima menyerap paling sedikit tiga orang tenaga kerja,” katanya. Djarot yakin, ini potensi perekonomian yang tak kalah dibanding pembangunan mal.
Pada 2000, di awal masa jabatannya, alun-alun itu dibenahi. Taman dikembalikan fungsinya. Tak jauh dari alun-alun dibangun kompleks untuk pedagang kaki lima. ”Saya bilang, sampeyan boleh jualan tapi harus bersih,” kata pria 46 tahun ini.
Walhasil, semua orang tersenyum. Pedagang kaki lima girang karena mendapat lokasi yang nyaman. Anak-anak riang bermain di taman. Djarot pun senang menikmati udara, bersepeda ontel, lalu membeli jajanan di warung kaki lima. Alun-alun kembali menjadi milik publik.
Sambil menyeruput kopi jahe buatan sang istri, Happy Farida, 39 tahun, Djarot mengisahkan kesibukannya memimpin warga kota kelahiran Soekarno, Presiden RI pertama.
Sebagai wali kota, urusan Djarot tentu bukan cuma alun-alun. Begitu menjabat delapan tahun lalu, mantan dosen di Universitas 17 Agustus Surabaya ini segera memusatkan perhatian pada birokrasi. Struktur organisasi yang gemuk, tumpang-tindih, telah membuat pemerintahan bergerak laksana gajah tua. ”Ini ndak bisa dibiarkan,” katanya.
Pedang pun diayunkan. Djarot tak memperpanjang usia pensiun pejabat. Posisi tak efektif yang kosong ditinggal pensiun dibiarkan tak terisi. Hasilnya, hampir sembilan tahun, 300 posisi di birokrasi telah dipangkas.
Rekrutmen pegawai ditangani serius. Djarot menggandeng Universitas Airlangga, Surabaya. ”Saya percaya, untuk mendapat birokrat berkualitas, harus dimulai dari rekrutmen.”
Maka, dua pekan lalu, proses seleksi berjalan tanpa campur tangan pemerintah kota. Semuanya dipasrahkan kepada tim Universitas Airlangga. ”Saya melarang staf saya masuk,” katanya.
Budaya birokrasi juga dibereskan. ”Birokrat itu pelayan masyarakat, tapi nyatanya justru birokrat yang sering minta dilayani,” katanya. Bersama berbagai lapisan masyarakat, Pemerintah Kota Blitar menyusun Citizen’s Charter, kontrak pelayanan. Di sini, berbagai hal disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak.
Adalah Puskesmas Bendo, Kecamatan Kepanjen Kidul, yang dijadikan proyek percontohan pada 2005. Kontrak yang dibuat di sana antara lain jadwal pelayanan, waktu antre, dan standar ruang pelayanan. ”Senyum dan tata cara menerima telepon juga masuk kontrak, ha-ha-ha…,” kata Djarot.
Jurus jitu. Puskesmas Bendo dulu dikunjungi 70-an pasien saban hari. Setelah kontrak diterapkan, puskesmas ini didatangi minimal seratus orang per hari. Kualitas kesehatan pun meningkat. Kini, model pelayanan di puskesmas Bendo menjadi standar rujukan pelayanan di Indonesia.
Djarot tak pernah bermimpi menarik investor besar untuk mendirikan pabrik berjejer-jejer di Blitar. Kalangan industri toh lebih memilih kawasan sekitar Surabaya. Maka ia lebih getol mendorong pertumbuhan usaha kecil. Saat ini sekitar 15 ribu usaha mikro-menengah hidup di kota berpenduduk 132 ribu jiwa ini.
Kota Blitar juga dikenal sebagai produsen kendang jimbe, yang tak hanya dijual ke Bali, tapi juga ke Prancis dan Afrika. Kendang ini badannya terbikin dari kayu bubut, ditutup kulit lembu, dan diikat dengan tali-temali.
Priyo Widigdo dari Bagian Pemasaran Paguyuban Perajin Bubut Kota Blitar menilai Djarot amat berperan membuka jalan pemasaran produk kerajinan Blitar. ”Kami banyak dibantu. Bisa berkonsultasi dengan Pak Wali Kota kapan pun,” kata Priyo.
Produk unggulan lainnya adalah belimbing. Pusatnya di Kelurahan Karangsari. Di kota ini tumbuh 28 ribu pohon belimbing yang menghasilkan 2.000 ton buah per tahun dan dijual hingga Jakarta. Sebagian belimbing juga diolah menjadi sirop dan dodol.
Belimbing telah menghidupi banyak orang. Supriadi Bagong, 38 tahun, misalnya, memiliki 70 pohon ini. Dari kebunnya itu ia beroleh pemasukan Rp 1,5 juta per bulan.
Djarot punya obsesi lain: memberantas kemiskinan dengan menggerakkan kebersamaan warga. Inspirasinya datang lima tahun lalu, saat meresmikan jembatan Sukorejo. Di tengah seremoni, ia terenyak menyaksikan sejumlah rumah berdinding gedek yang bolong-bolong.
Sejak itu, pemerintah kota mengucurkan uang insentif untuk memermak rumah warga yang tak layak huni. Nilainya Rp 4,5-7 juta per rumah. Masyarakat bergotong-royong menyumbang dan melaksanakan ”operasi bedah rumah” yang berbiaya Rp 15-20 jutaan tiap rumah. Kini, sudah 600-an rumah dibedah. ”Dua ratusan rumah menyusul,” kata Djarot.
Hari itu, Djarot mengakhiri perbincangan dengan ajakan minum kopi di warung Mbah Munawaroh, di samping Pasar Legi. Kopi di warung ini dijamin segar dan mantap. Simbah sendiri yang memilih biji kopi, menyangrai, dan menumbuknya. Tangan keriput nenek 75 tahun ini bekerja dengan lihai, menyajikan kopi tubruk yang harum dengan asap mengepul. Slurrp, hm, kopi yang nikmat. Djarot memuji Simbah, ”Panjenengan memang top, Mbah.”
Luas: 32,578 kilometer persegi
Penduduk: 132.106 jiwa
Keluarga Miskin: 4.368 pada 2007 dari 4.547 pada 2006
Kelurahan: 21
Potensi Daerah: Agrobisnis belimbing, wisata makam Bung Karno, dan industri bubut kayu
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
12,9
27,6
27,7
Anggaran Belanja
234,3
259,2
284,8
Pertumbuhan Ekonomi
2005: 5,71%
2006: 5,89%
2007: 6,12%

DJAROT SAIFUL HIDAYAT

Tempat dan tanggal lahir : Gorontalo, 30 Oktober 1955
Pendidikan:
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang (S-1, 1986)
Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (S-2, 1991)
Karier:
Pembantu Rektor I Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya (1997-1999)
Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur (1999-2000)
Wali Kota Blitar dua periode (2000-2010)
Penghargaan:
Penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (2008)
Penghargaan Terbaik Citizen’s Charter Bidang Kesehatan, Anugerah Adipura (2006, 2007, 2008)

Walikota Teladan 2008 dari Makasar

ILHAM ARIF SIRAJUDDIN, WALI KOTA MAKASSAR

Cerita dari Pantai Cinta

Ia memulai karier dengan kebijakan tak populer. Akhirnya dekat di hati rakyat.
OMBAK menebah dermaga plastik yang terapung. Sudah dua jam lebih pemuda itu terombang-ambing. Di bibir anjungan Pantai Losari, Makassar, ia memainkan pancing, Jumat sore dua pekan lalu. Kerambanya masih kosong. ”Kadang sampai lepas magrib tak dapat,” kata Ali Nurdin. Sejak anjungan rampung, hampir saban hari Ali, warga Mamajang, datang ke Losari.
Kerapian Pantai Losari bermula dari pertemuan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan Wali Kota Ilham Arif Sirajuddin di Makassar, Juli empat tahun silam. Dalam bincang-bincang sepeminuman teh, Megawati setuju mencanangkan revitalisasi pantai. Melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, Makassar mendapat bantuan Rp 25 miliar.
Awalnya, banyak pihak sangsi, termasuk anak buah Ilham. Berkaca ke tahun-tahun lalu, revitalisasi selalu kandas di tengah jalan. Pertama soal biaya. Kedua, banyak yang menentang, terutama pedagang kaki lima. Bila terbetik pembenahan, silih berganti demo memenuhi jalanan.
Dulu, setiap menjelang senja, warung tenda mulai berbentangan di jalur pantai sepanjang satu kilometer itu. Makanan-minuman segala rupa: coto makassar, sop konro, palu basah, es pisang ijo..., tinggal sebut! Makin malam, suasana makin marem.
Apalagi pada hari libur atau ketika ada pergelaran. Orang membeludak ke jalan. Kendaraan terpaksa mencari jalur memutar. Dampak lainnya: pantai tercemar, sampah mengambang di mana-mana. Menghadapi kenyataan ini, Ilham berpikir keras.
Setelah didukung Megawati, Ketua Partai Golkar Makassar itu mengerahkan 16 kadernya di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dewan pun menyetujui Rp 5 miliar untuk pengerjaan tahap awal. Pemerintah Provinsi menambahi Rp 2 miliar.
Tapi jalan belum lapang. Demo masih ramai: Ilham dituding main mata dengan investor. Bila pantai dibenahi, orang khawatir harus membayar tiket masuk. Ilham seperti tak ambil pusing. ”Dia berani tidak populer,” kata pakar otonomi daerah, Andi Mallarangeng. ”Banyak terobosannya.”
Dua tahun lalu, anak Bupati Gowa Arif Sirajuddin itu membuktikan semua tuduhan mereka tak benar. Tak dipungut bayaran masuk. Kini masyarakat menanti anjungan Bugis-Makassar dan Toraja-Mandar yang masih dikerjakan. Makassar benar-benar menjadi waterfront city. Hotel, hospital, restoran, kafe, dan tempat hiburan menatap pemandangan pantai dan laut lepas yang menawan.
Menurut Ilham, sebagai gerbang utama menuju kawasan timur Indonesia, Makassar perlu bersolek. Ia berambisi menjadikan Makassar kota metropolitan pertama di luar Jawa. Akhir tahun lalu ia pun memulai proyek keduanya, memermak Lapangan Karebosi.
Kala itu, ruang terbuka di jantung kota tersebut memang tak layak lagi menjadi landmark ibu kota. Hujan sebentar saja, air sudah menggenang. Maklum, Karebosi satu meter di bawah permukaan jalan. Rumput menyembul tak rata. Di bawah pohon-pohon besar yang tersebar mengitari pagar, puluhan waria menjalankan aksinya, tak kenal sore atau malam.
Seperti waktu merombak Losari, aksi tata kota ini mendapat serangan serupa. Bahkan makin gencar, lantaran saat itu proses pemilihan wali kota mulai bergulir. Lagi-lagi Ilham tak ambil pusing. Ruang terbuka hijau di pusat Kota Anging Mamiri itu ditimbun tanah hingga satu meter di atas permukaan jalan. Untuk menambah penangkal banjir, drainase dibereskan. ”Air disalurkan ke pantai,” kata Ilham.
Agar kota bertambah segar, ratusan pohon ditanam di area sebelas hektare itu. Rumput dicukur rapi. Arena bermain yang sudah beroperasi sejak empat bulan lalu adalah lapangan sepak bola, softball, dan futsal yang dipisahkan jalur pedestrian selebar tiga meter. Di jalur itu, setiap sepuluh meter, satu pohon tumbuh menjulang.
Kamis dua pekan lalu, belasan pekerja terlihat merampungkan jalur menuju pendaratan helikopter di sisi utara lapangan. ”Tempat ini juga digunakan sebagai lapangan upacara,” kata Syamsul, salah seorang pekerja.
Nah, di bawahnya berdiri pertokoan dan mal yang memakan ruang hingga 2,9 hektare. Para pedagang, yang biasanya bertaburan, kini berjualan dengan tenang. Pengunjung juga banyak yang datang lantaran barang yang ditawarkan makin beragam. Soal ”banci”, kini tak ada lagi yang berani melenggang.
Jerih payah itu kemudian mulai berbuah. Sejak Ilham menjadi wali kota empat tahun silam, investasi yang masuk Rp 8,9 triliun. Ia memberikan kemudahan izin usaha. Misalnya, rekomendasi dari pemerintah kota tak lebih dari satu jam.
Pesatnya pendapatan daerah mendongkrak pertumbuhan ekonomi, yang tahun lalu mencapai 8,09 persen, jauh di atas angka nasional yang hanya 6,3 persen. Anggaran dan pendapatan daerah tiap tahun juga makin meningkat (lihat tabel).
Alokasi dana kesejahteraan pun terus bertambah. Tahun ini, untuk biaya kesehatan, pemerintah kota menganggarkan Rp 27,9 miliar. Dengan dana sebesar itu, warga tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun bila berobat ke puskesmas.
Ilham juga menerbitkan 60 ribu kartu miskin yang digunakan warga untuk mendapat layanan gratis kesehatan dan pendidikan. Bahkan siswa di 46 sekolah dasar dan empat sekolah menengah pertama mendapat seragam dan alat tulis cuma-cuma.
Masyarakat Makassar, akhirnya, merasa dekat dengan sang Wali Kota. ”Pak, foto bareng, ya?” serombongan muda-mudi di Pantai Losari menyapa Ilham, Jumat dua pekan lalu. Ilham bahkan ”patuh” ketika mereka meminta dia mengacungkan jempol saat berpose.
Luas: 175,77 kilometer persegi
Penduduk: 1,6 juta jiwa
Desa: 143
Keluarga Miskin: 70.160, tertangani 68.477
Potensi Daerah: perdagangan, hotel, dan restoran
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2004
2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
85,1
98,4
114,8
120,2
Anggaran Belanja
559,9
618
848,6
949,5
Pendapatan per Kapita (Juta Rupiah)
2004: 11,22
2005: 13,2
2006: 14,8
2007: 16,9
*Sumber: Pemerintah Daerah Kota Makassar
Ilham Arif Sirajuddin Tempat dan tanggal lahir: Ujung Pandang, 16 September 1965 Pendidikan: - Sarjana Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar (1992) - Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Muslim Indonesia, Makassar (2000) Karier: - Wakil Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Sulawesi Selatan (1996-2003) - Ketua Partai Golkar Makassar (2001-sekarang) - Ketua Persatuan Sepak Bola Makassar (2003-sekarang) - anggota DPRD Makassar (1999-2000) - Wali Kota Makassar (2004-2009) Penghargaan: - Wahana Tata Nugraha (2004, 2005, 2006, 2007) - Manggala Karya Kencana (2007) - Kota Sehat Manggala Karya Bhakti Husada Arutala (2007) - Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (2008)

Bupati Teladan 2008 dari Badung

A.A. GDE AGUNG, BUPATI BADUNG

Agar Seimbang Selatan-Utara
Bupati Badung A.A. Gde Agung menjaga keseimbangan antara kawasan utara dan selatan. Menggiatkan usaha pertanian.
Suatu hari, Anak Agung Gde Agung mempunyai mimpi. Sebab, Bupati Badung itu melihat betapa berbedanya kawasan utara Kabupaten Badung yang terdiri dari pegunungan, dan bagian selatan yang memiliki pantai yang landai dan indah seperti Kuta. Udara yang hangat di selatan ini menjadikan daerah itu tempat pelesir favorit bagi turis yang berambut pirang ataupun mereka yang berkulit cokelat.
Bagian selatan ini pula yang menjadi penyumbang pendapatan asli daerah tersebut sejak dulu. Pajak hotel dan restoran adalah sumber pendapatan yang luar biasa, hingga membuat Badung kabupaten terkaya di Pulau Dewata.
Tetapi kawasan utara jauh berbeda. Di sini penduduknya hidup dari pertanian. Alhasil, sukar disanggah, selain pendapatan antara penduduk dua kawasan ini jadi timpang, terjadi pula perbedaan gaya hidup.
Hingga tahun lalu, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, jumlah turis dari luar negeri yang datang ke sana mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2003, jumlahnya yang 990 ribu melonjak menjadi 1,7 juta pada 2007. Nah, terbayang sudah uang yang berseliweran di sana.
Menciptakan keseimbangan itulah yang menjadi salah satu program yang digagas Anak Agung Gde Agung pada saat maju dalam pemilihan bupati tiga tahun silam. Selama tiga tahun pemerintahannya, Gde Agung menemukan jalan ini untuk memperkecil kesenjangan yang terjadi di antara dua kawasan itu.
Caranya? Banyak. Di antaranya dengan melakukan perimbangan pembangunan yang dibiayai dari anggaran pendapatan belanja daerah. Berbagai infrastruktur mereka bangun. Lalu, potensi yang dimiliki kawasan itu dikembangkan. Kawasan utara sebagai penghasil bumi menjadi penyedia kebutuhan para pengusaha pariwisata di kawasan selatan.
Ide lain adalah mendirikan sebuah sekolah yang melatih kompetensi agrobisnis atau agrowisata. ”Kelak, lulusan dari sekolah itu bisa menjadi tenaga kerja di bidang tersebut atau membuka usaha sendiri,” kata Agung. Dalam bayangannya, dengan mendirikan sekolah menengah pertanian, yang sepenuhnya disubsidi pemerintah daerah, dia menginginkan kawasan ini bisa tumbuh menjadi basis pertanian yang kuat.
Gedung sekolah itu sebelumnya adalah pesanggrahan milik pemda. Bentuknya pun tak berubah sampai sekarang. Namun, di bagian belakang, pemandangannya berbeda. Selain beberapa gedung berupa kelas, sebuah bangunan besar tampak mencolok. Bangunan itu tinggi tapi tidak berdinding. ”Kami sedang membangun laboratorium,” kata I Gusti Made Bawasuarya, Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Petang, Badung Utara. Sehari-hari Bawasuarya mengelola sekolah yang memiliki sekitar 300 siswa di tahun ketiganya itu. Jumat tiga pekan silam, Tempo bertandang ke sana. Sayang, hari itu sekolah kosong. ”Kami baru saja menyelesaikan ujian semester,” katanya.
Beruntung, Badung memiliki Gde Agung. Pria berusia 59 tahun ini, jauh sebelum menjabat kepala daerah, memang sudah dikenal masyarakat. Pria yang pernah bekerja sebagai notaris ini salah satu penglingsir atau pemuka masyarakat dari Puri Mengwi.
Secara tradisional, penglingsir mendapat tempat di hati masyarakat. Warga mendatangi tokoh seperti Gde Agung pada saat-saat tertentu. Misalnya ketika sawah mereka kekurangan air.
Gde Agung maju dalam pemilihan Bupati Badung pada Juni 2005, dengan dukungan para pemuka adat. ”Tapi setiap calon harus mendapat sokongan partai politik,” katanya. Partai Golkar menjadi salah satu pendukungnya.
Dukungan dari masyarakat ini membuat langkah Gde Agung kian mantap. Sebaliknya, dia tidak meninggalkan akarnya. Dia menggerakkan lembaga adat di sana. Salah satunya dengan mengembangkan lembaga perkreditan. Sumbangan ini membawa perubahan yang luar biasa. Lembaga adat pun ikut bergabung dalam program-program pemerintahan daerah.
Namun, yang terpenting, menurut Gde Agung, wilayahnya membutuhkan keseimbangan dari daerah lainnya. Untuk itu pula, dengan pendapatan pajak yang berlimpah dari sektor pariwisata, pihaknya memberikan bantuan kepada daerah di sekelilingnya.
Untuk anggaran tahun ini saja, mereka mengucurkan bantuan kepada enam kabupaten di sekitarnya, yakni Jembrana, Tabanan, Buleleng, Karangasem, Bangli, dan Klungkung. Masing-masing berbeda jumlahnya. Namun total dana yang disalurkan mencapai Rp 15 miliar. ”Ini merupakan upaya kami dalam menjalankan prinsip one island management,” katanya.
Masalah tentu saja bukan tidak ada. Satu di antaranya adalah penduduk pendatang. Bagaimanapun, Kuta dan tempat lainnya tak ubahnya gula nan manis yang selalu dikerubungi semut. Masalah lainnya, persoalan lingkungan.
Di antaranya pembangunan yang mengambil lahan pertanian. ”Kami telah membongkar bangunan yang tidak memiliki izin,” katanya tentang upaya membuat lingkungan hidup di sana tetap terjaga.
Hal lainnya adalah soal alih fungsi lahan menjadi bangunan hotel, misalnya, dari tahun ke tahun kian berkurang jumlahnya. Hingga tahun ini, alih fungsi lahan ini tinggal 1 hektare saja. ”Tapi kami tak bisa melarang penduduk yang menjual tanahnya,” katanya.
Bagi Gde Agung, semua upaya ini bermuara pada upaya menjaga semua berada dalam keseimbangan.
Luas: 418,52 kilometer persegi
Penduduk: 372.222 jiwa (Maret 2007)
Keluarga Miskin: 4.123 pada 2007
Desa: 46 desa
Potensi Daerah: Pariwisata, kerajinan tangan, pertanian
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2006
2007
2008
Pendapatan Asli Daerah
362
353
447
Anggaran Belanja
640
855
1200
Pertumbuhan Ekonomi
2005: 5,61%
2006: 5,03%
2007: 6,22
A.A. Gde Agung Tempat dan tanggal lahir: Badung, 25 Mei 1949 Pendidikan: - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1976) - Notariat Universitas Indonesia (1994) Karier: - Ketua Ikatan Notaris Indonesia Tabanan - Ketua Forum Komunikasi Antarumat Beragama Kabupaten Badung - Bupati Badung (2005-2010) Penghargaan: - Kabupaten Sehat 2007 dari Departemen Kesehatan - Penghargaan Khusus sebagai Kabupaten Penggerak Koperasi 2007 dari Presiden

Bopati Teladan 2008 dari Luwu Timur

ANDI HATTA MARAKARMA, BUPATI LUWU TIMUR
http://www.luwutimurkab.go.id/

Sebuah Lumbung Nun di Timur

Berkat taktik ”desa mengepung kota”, Luwu Timur jadi lumbung padi Sulawesi Selatan. Anak tak sekolah, Orang tua kena Sanksi.
Nun di Luwu Timur lima tahun lalu, Andi Hatta Marakarma menatap tanah Sulawesi Selatan itu dengan penuh keinginan untuk perbaikan dan perkembangan.
Tak ada yang kurang dengan daerah di Teluk Bone itu. Punya gunung di utara, cocok untuk perkebunan. Di punggungnya ada Danau Towuti. Airnya siap memutar turbin listrik. Dari kaki gunung hingga pantai menghampar sawah yang subur. Saat panen raya mirip karpet kuning. Di tengah ”karpet” itu ada Danau Matano. Dalamnya 600 meter—paling jero di Asia.
Tapi, dia melihat jalan-jalan yang rusak. Akibatnya berantai: hasil panen tak terangkut, irigasi amburadul. Akhirnya petani pun beralih bertanam kakao, yang sudah tak lagi jadi primadona.
Andi paham betul bahwa potensi Luwu Timur adalah pertanian padi, karena 80 persen penduduknya petani, dan di sana terhampar 19 ribu hektare sawah. Ini pula yang menjadi modal bagi kabupaten itu ketika memisahkan diri dari Luwu Utara pada Maret 2003.
Untuk menggerakkan semua potensi, menurut Andi, kuncinya adalah perbaikan infrastruktur. Maka, ia tidak memprioritaskan pembangunan kantornya, yang menumpang di kantor Kecamatan Malili. Ia mengutamakan pembangunan jalan desa dan jalan tani yang menjangkau hingga ke pelosok. Andi menyebut pola pembangunan ini dengan istilah ”desa mengepung kota”.
Lulusan Magister Pertanian Universitas Hasanuddin ini memfokuskan pembangunan ke pedesaan, mulai dengan membangun kantor desa, jalan desa, dan irigasi. Bupati yang gemar mengendarai mobil sendirian hingga ke pelosok desa ini juga membebaskan daerah terisolasi dengan membuka jalan baru dan membangun jembatan. Hingga 2008 telah dibuka jalan baru sepanjang 194 kilometer dan 101 jembatan.
Pada tahun ketiga, pembangunan baru mengarah ke pusat pemerintahan di Malili, termasuk membangun kantor bupati. Kompleks pemerintahan dibangun di sebuah perbukitan, bekas perkebunan. Untuk menghidupkan kota ini, dia membuka jalan tembus ke beberapa penjuru.
Malili sebenarnya tak semaju dua kota lainnya di Luwu Timur, yaitu kecamatan Tomoni dan Soroako. Tapi Andi ingin menjadikan tiga kota itu sebagai pusat pertumbuhan berbeda. Kota Tomoni yang berpenduduk padat dikembangkan menjadi kota perdagangan. Soroako yang maju karena aktivitas PT Inco, penghasil nikel, dijadikan kota industri. Malili yang memiliki akses pelabuhan dikembangkan sebagai kota pemerintahan.
Selain memperhatikan bidang ekonomi, ayah dua anak ini tak melupakan pengembangan pendidikan. Andi percaya, investasi jangka panjang yang penting bagi Luwu Timur adalah pembangunan manusia. Untuk itu, bupati yang kerap disapa ”Opu” ini menerapkan program sekolah gratis, dari tingkat dasar hingga menengah atas. Dia juga merenovasi bangunan sekolah menjadi permanen, memberikan beasiswa, bahkan mengirim murid ke sekolah-sekolah unggulan ke luar daerah. Kini Andi tengah menyiapkan peraturan daerah tentang sanksi bagi orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya. ”Setelah (sekolah) gratis, tidak ada alasan bagi orang tua tidak mampu untuk tidak menyekolahkan anaknya,” katanya.
Di bidang kesehatan, Andi membangun pusat kesehatan masyarakat dengan layanan rawat inap. Saat ini, dari 13 pusat kesehatan yang ada, 12 klinik telah memiliki fasilitas rawat inap, enam di antaranya telah memiliki ruang gawat darurat. Biaya rawat inap kelas III pun dibebaskan.
Untuk memenuhi kebutuhan dokter, Andi tak segan memberikan fasilitas. Melalui Dinas Kesehatan Provinsi, dia mengumumkan akan memberikan insentif tambahan Rp 10 juta, rumah dinas, dan mobil bagi dokter spesialis yang bersedia berpraktek di Luwu Timur.
Salah satu petani yang merasakan kemakmuran hidup sebagai petani adalah Wasono, Ketua Kelompok Tani Ambarawa, yang memiliki 20 hektare lahan sawah. Dalam lima tahun terakhir, dia melihat perubahan signifikan di kampung halamannya, Desa Wonorejo, Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur. Pria 41 tahun ini bersama rekannya sesama petani tak lagi kesulitan mengangkut hasil pertanian karena jalan beraspal sudah menjangkau hingga ke pelosok. Irigasi persawahan juga membaik. ”Dulu ongkos angkut satu karung gabah Rp 9.000, sekarang hanya Rp 2.000,” kata Wasono.
Lima tahun setelah berdiri sebagai Kabupaten Luwu Timur—pemekaran dari Kabupaten Luwu Utara—Wasono baru merasakan hasil kerja pemerintah yang berpihak ke petani. Kelompok tani hidup dan berkembang. Bantuan bibit dan penyaluran pupuk lancar. Menurut Wasono, kini produksi padi meningkat dari 4,8 ton menjadi 6 ton per hektare tahun ini.
Selain sebagai penghasil beras, Luwu Timur kaya potensi perkebunan seperti jagung, kakao, dan sawit. Produk lainnya yang digarap serius adalah budi daya rumput laut. Andi pun mengarahkan Kepala Dinas Perikanan Zakaria untuk mengembangkan rumput laut—yang menurut Zakaria terbaik se-Sulawesi Selatan. Andi yakin, budidaya rumput laut ini akan menjadi primadona daerah yang dikenal dengan sebutan Bumi Batara Guru itu.
Tetapi Andi tidak ingin mengandalkan sektor pertambangan di masa depan. Pertimbangannya, pertambangan merupakan sumber daya tak terbarukan, dan merusak lingkungan. Ia lebih tertarik mengembangkan agrobisnis.
Luwu Timur kini menjadi daerah terkaya kedua di seluruh Sulawesi Selatan, setelah Kota Makassar.
Luas : 6.994 kilometer persegi
Penduduk : 231.385 jiwa
Desa : 99
Keluarga Miskin: 22.900, 10% dari total keluarga (2007)
Potensi Daerah : Tambang nikel, pertanian (padi, jagung, sawit, kakao, rumput laut)
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
66,1
78,6
88
Anggaran Belanja
234
386
460
Pertumbuhan Ekonomi
2005: 5,57%
2006: 6,86%
2007: 5,75
Andi Hatta Marakarma Tempat dan tanggal lahir: Palopo, 10 Juni 1949 Pendidikan: - Sarjana Ilmu Pemerintah Institut Ilmu Pemerintahan (1985) - Magister Pertanian Universitas Hasanuddin (2002) Karier: - Kepala Desa Bara (1978) - Kepala Desa Wawondula (1979), Camat Masamba (1993) - Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Luwu Utara (2001) - Penjabat Bupati Luwu Timur (2003) - Bupati Luwu Timur (2005) Penghargaan: - Peduli Pendidikan dari Gubernur Sulawesi Selatan (2006) - Manggala Karya Kencana dari Kepala BKKBN (2007) - Satya Lencana Wira Karya dari Presiden (2007) - Perda Akta Kelahiran Bebas Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (2007) - Anugerah Kemitraan (2008)

Bupati Teladan 2008 dari Gorontalo

DAVID BOBIHOE AKIB, BUPATI GORONTALO

Khayal dari Tepian Limboto

David Bobihoe Akib membawa perlengkapan mandi serta kasur lipat ke pelosok demi ”government mobile”. Memilih independen, tanpa partai.
Dua sejoli itu menunggu di teras suatu rumah berlantai marmer. Mereka hanya berkaus oblong dan bersandal jepit. Keduanya adalah Tito, 37 tahun, buruh serabutan yang dibayar Rp 5.000-10.000 per hari, dan Yani, 32 tahun, pembantu rumah tangga dengan upah Rp 150 ribu per bulan. Kepada penerima tamu, Tito dan Yani permisi menemui tuan rumah.
Si pemilik rumah, David Bobihoe Akib, yang sudah siap bepergian—sopir tengah memanaskan mobil tuannya di halaman—menemui mereka. ”Torang (kami) perlu uang Rp 600 ribu untuk kawin. Sudah tiga tahun mencari tapi tak dapat. Tak tahu harus bagaimana lagi,” ujar Tito, sang pria.
Tanpa banyak bicara, David memerintahkan ajudannya menghubungi kepala dusun tempat asal pasangan itu. Setelah mendapat kepastian bahwa mereka belum menikah, ia memberi mereka uang Rp 1 juta. ”Sisanya gunakan untuk selamatan sederhana,” katanya.
Peristiwa kecil itu berlangsung Selasa dua pekan lalu di beranda rumah Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib, di Kota Limboto. Sejak memimpin wilayah tepian danau yang permai itu tiga tahun lalu, David merobohkan pagar halaman depan rumahnya hingga rata tanah. Begitu pula pos penjaganya. Maka siapa saja bebas masuk hingga teras rumah. Mereka bahkan disuguhi minuman dan makanan ringan. ”Orang bilang Pak Bupati baik. Maka torang berani datang,” kata Yani.
Bupati kelahiran Gorontalo 53 tahun silam itu dikenal terbuka dan siap meladeni semua tamunya. ”Kalau saya bisa menemui, mengapa tidak?” katanya dengan santun. Pekan lalu, dia menghadiri pertemuan di kantor redaksi Tempo bersama sembilan bupati dan wali kota pilihan majalah ini. David berbicara dengan terbuka, mahir, dan bergelora tentang tanah kecintaannya, Gorontalo.
Sikap terbuka, menurut David, menghilangkan jarak pejabat dan warga. Apa saja yang disampaikan para tamu? ”Dari melaporkan lampu mati hingga mengadukan suami selingkuh,” ujar ayah dua anak ini.
Agar dekat dengan rakyat, David sebisa mungkin pula memenuhi undangan pernikahan atau tahlilan dari warganya. Ketika menemui Tito dan Yani, David hendak memenuhi undangan tahlilan warganya. ”Tahun lalu Bapak menghadiri 146 undangan,” kata Kennedy, ajudan Bupati. Nomor telepon selulernya tidak dirahasiakan. ”Saya menjawab pesan singkat warga saat dalam perjalanan atau menjelang tidur,” katanya.
Lantaran lebih banyak menghabiskan waktu di luar kantor, David mendelegasikan sebagian besar wewenangnya kepada wakil bupati dan para bawahannya. ”Masalah teknis dan administrasi, mereka yang tangani,” katanya. Meja kerja dia bersih dari dokumen. Tanpa dibebani urusan administrasi kantor, David punya waktu untuk memikirkan kebijakan. ”Pemimpin harus mengkhayal,” katanya.
Salah satu hasil khayalannya adalah program pemerintahan keliling, yang populer disebut ”government mobile”, sejak Februari lalu. David memboyong para kepala dinas serta jajarannya berkantor di pelosok dan melayani warga. Kantor kecamatan, kantor desa, ataupun rumah penduduk dipinjam sebagai kantor sementara. Supaya tidak merepotkan warga, David membawa peralatan kerja, perlengkapan mandi, dan kasur lipat untuk tidur.
Program ini terbukti amat membantu warga berurusan dengan pemerintah. Mereka tak perlu mengeluarkan ongkos puluhan ribu rupiah dan menempuh perjalanan berjam-jam ke kota untuk mengurus surat izin usaha, surat kependudukan, dan keperluan lainnya. ”Semua proses perizinan harus selesai saat itu juga,” kata Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gorontalo Arto Naue.
Pemerintahan keliling juga menampung masukan dan mengumpulkan masalah. David optimistis, setelah semua kecamatan tersentuh program ini, ia akan lebih mudah mewujudkan tujuan. Sasaran utamanya peningkatan kesehatan, mutu pendidikan, dan revitalisasi pertanian.
David memberikan perhatian besar pada tiga bidang itu. Di bidang pendidikan, ia membebaskan biaya sekolah dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah. Di bidang kesehatan, ada puskesmas dengan layanan seperti rumah sakit. Revitalisasi pertanian dipercepat dengan mendirikan badan usaha milik desa. Badan ini menyediakan sarana pertanian, membeli hasil bumi saat panen melimpah, dan menebus aset petani dari tengkulak.
Bupati ini mengakui pekerjaannya mulus lantaran didukung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Padahal, ketika David dilantik pada Agustus 2005, 23 anggota Dewan dari Golkar tak hadir karena calon mereka kalah. Alhasil, hanya 17 anggota yang menyaksikan David dilantik Gubernur Fadel Muhammad.
Bersama Sofyan Puhi dari Partai Persatuan Pembangunan, birokrat ini diusung oleh gabungan partai kecil untuk menandingi jago Golkar. ”Kini kami mendukung David karena program yang dia jalankan sesuai dengan kepentingan rakyat,” kata Arto Naue. Padahal dia mengaku dulu ikut memboikot pelantikan David atas perintah pemimpin partai.
Sampai sekarang, David memilih tetap independen. Tanpa menjadi anggota partai, ia lebih leluasa merangkul semua golongan. Alhasil, kediamannya menjadi rumah singgah bagi siapa saja. Dari petinggi berbagai partai politik dari Jakarta, hingga calon pengantin yang tak punya ongkos kawin.
Luas: 1.846,4 kilometer persegi
Penduduk: 352.687 jiwa
Keluarga Miskin: 21.345 dari total 28.311 (2005)
Desa: 156
Potensi Daerah: Pertanian (padi, jagung, kedelai), perikanan, jasa
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
12,9
18,9
21,1
Anggaran Belanja
373
485
460
Pertumbuhan Ekonomi
2005: 5,98%
2006: 7,20%
2007: 7,45%
DAVID BOBIHOE AKIB Tempat dan tanggal lahir: Gorontalo, 30 Oktober 1955 Pendidikan: - Diploma Akademi Ilmu Publisistik, Manado (1979) - Sarjana Komunikasi Universitas Sam Ratulangi, Manado (1982) - Magister of Science West Coast Institute of Management & Technology, Australia (2001) - Magister Manajemen STIE Widya Jayakarta, Jakarta (2001) Karier: - Kepala Biro Humas Provinsi Sulawesi Utara (1997-2001) - Sekretaris Daerah Kabupaten Gorontalo (2001-2005) - Bupati Gorontalo (2005-2010) Penghargaan: - Menuju Kota Sehat 2007 dari Menteri Kesehatan - Satya Lencana Pendidikan 2007 - Satya Lencana Pembangunan 2007 - Adipura Kategori Kota Kecil 2007

Walikota Teladan 2008 dari Tarakan

JUSUF SERANG KASIM, WALI KOTA TARAKAN

Mimpi Melahirkan Singa Kecil
Puluhan tahun memimpin rumah sakit, Wali Kota Jusuf Serang Kasim berhasil menyembuhkan Tarakan dari sejumlah penyakit kronis.
BAU, seperti aroma udang busuk, menyelinap masuk mobil Kijang Innova Jusuf Serang Kasim. Tak begitu santer, tapi cukup untuk membuat Wali Kota Tarakan yang sedang melintasi halaman dermaga feri itu terganggu. Ia memencet nomor telepon, menghubungi Kepala Dinas Kebersihan Kota. ”Bau sekali di dermaga, tolong dicek sumbernya,” kata Pak Wali Kota. ”Saya minta laporannya segera.”
Memimpin Tarakan sejak 1999, sang Wali Kota tampak paham benar aneka persoalan yang hinggap di pulau sebelah timur Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia itu. Tiap pagi ia menerima puluhan tamu, masing-masing menyampaikan urusannya: dari masalah pengelolaan sampah sampai tagihan listrik, dari percetakan buku hingga soal mutu pendidikan. Dari situ ia bergerak ke lapangan, mengecek persoalan berikut perkembangannya. Rutinitas yang sudah bertahun-tahun.
Jusuf terobsesi membuat Tarakan jadi Singapura kecil: negeri pulau yang menjadi pusat keuangan dunia, dengan pelayanan kesehatan yang mondial, ditata dengan manajemen pemerintahan yang baik. Ketika itu, Tarakan masih bayi, baru dua tahun disapih oleh induknya, Kabupaten Bulungan. Terdiri atas pulau yang terpisah dengan Kalimantan daratan, kota baru ini memiliki luas sekitar 250 kilometer persegi—hampir separuh luas Singapura. Saat itu penduduknya baru sekitar 115 ribu orang atau tiga persen penduduk Negeri Singa.
Potensi Tarakan tak kalah dengan Singapura, katanya. Posisinya strategis, merupakan pusat transit perdagangan antara Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Karena posisinya itu, Jepang dan Sekutu pernah memperebutkan Tarakan dalam Perang Pasifik, 1942-1945.
Tapi Tarakan pada 1999 adalah kota yang sakit: uang tak punya, sampah menggunung di mana-mana, gedung sekolah reyot, orang-orang kaya pun menyekolahkan anaknya ke luar pulau. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, itu juga melihat bibir pantai sebelah timur terus tergerus Laut Sulawesi, dan hutan bakau penjaga napas penduduk Tarakan terkikis dengan cepat.
Dari hasil diagnosisnya, ia memutuskan mendahulukan persoalan yang sudah kronis: sampah. Tak ada uang di kas pemerintah, ia mengumpulkan 11 pengusaha lokal untuk memulainya. Ketika itu, terkumpul Rp 1,3 miliar dari mereka. ”Saya berjanji mengembalikannya dalam setahun,” tuturnya.
Utang itu ia simpan dalam deposito bank. Bunganya dipakai buat menyewa beberapa truk pengangkut sampah. Satu setengah bulan menjadi wali kota, ia memindahkan pengelolaan sampah dari Dinas Kebersihan Kota ke swasta. Pengelolaan truk-truk pengangkut sampah yang kemudian bisa dibeli juga diserahkan ke perusahaan partikelir. Dari tahun ke tahun, truk terus bertambah.
Bahkan kota ini kemudian menerima hibah dari pemerintah Jepang: sepuluh truk pengangkut sampah tertutup, dua bus kota, dua bus pengangkut penumpang bandara, tiga mobil ambulans, dan tiga pemadam kebakaran. ”Kami menjadi pemulung karena itu mobil-mobil bekas yang lalu kami perbaiki di Surabaya,” ujarnya. ”Biayanya sekitar Rp 3,5 miliar untuk semua.”
Pengelolaan sampah bukan sekadar soal kebersihan. Jusuf menganggap sampah sebagai cermin manajemen pemerintah. Sampah yang berserakan tanda manajemen yang amburadul. Ia juga berpendapat penanganan sampah harus menjadi bagian dari materi pendidikan di sekolah-sekolah.
Dari urusan sampah, ia melangkah ke persoalan pendidikan. Ia menjumpai tiga sekolah dasar terkonsentrasi di satu kawasan. Untuk efisiensi, ia membongkar dua bangunan dan menyatukan tiga sekolah itu menjadi satu manajemen. ”Ada kepala sekolah yang menggugat ke pengadilan tata usaha negara, tapi kami menang,” ujarnya.
Tarakan membangun fisik gedung-gedung sekolah dengan baik. Gedung Sekolah Menengah Pertama 1, misalnya, dibangun sangat megah: terdiri atas bangunan tiga lantai melingkar, dilengkapi laboratorium komputer dan bahasa, dengan toilet yang terawat bersih. Kelas-kelasnya teratur, dengan bak sampah yang memisahkan sampah organik dan non-organik dipasang di halaman.
Bangunan megah serupa dibangun untuk sekolah dasar dan sekolah menengah atas. Kompleks Universitas Borneo yang besar didirikan di perbukitan di luar kota, di tepi jalan menuju pantai timur Tarakan. Penampilan fisik fasilitas pendidikan ini penting, menurut Jusuf, untuk meningkatkan kebanggaan guru, memberikan rasa aman bagi orang tua buat menyekolahkan anaknya, dan pada akhirnya memberikan gairah belajar pada siswa.
Pada saat yang sama, pemerintah Tarakan membentuk tim peningkatan mutu pendidikan buat menyusun peranti lunak sekolah-sekolah itu. Tim tersebut terdiri atas sejumlah doktor lulusan berbagai universitas. Tunjangan guru, kepala sekolah, dan pengawas juga ditingkatkan. Pada 2003, guru memperoleh tambahan Rp 525 ribu, kepala sekolah Rp 825 ribu, dan pengawas Rp 875 ribu per bulan, plus sepeda motor. Kini jumlah tunjangan itu sudah di atas Rp 1 juta.
Untuk meningkatkan kemampuan, para guru sekolah dasar memperoleh pendidikan tambahan hingga memperoleh gelar sarjana di Universitas Borneo. Semua dibiayai pemerintah. Berbagai langkah itu memakan seperlima lebih anggaran Tarakan selama empat tahun terakhir. ”Langkah itu dilakukan agar profesi guru menjadi terhormat, dan mereka bisa menjadi andalan kami membangun sumber daya yang andal,” kata Jusuf.
Jusuf mengorbankan biaya pembangunan kantor wali kota buat membangun gedung-gedung sekolah itu. Berbeda dengan kantor pemerintah kabupaten atau kota di tempat lain, gedung Wali Kota Tarakan tak dibangun besar-besar. Dinding ruang kerja Jusuf dibuat dari tripleks. Total biaya pembangunan kantor itu Rp 2,9 miliar—sepersepuluh biaya pembuatan gedung Sekolah Menengah Pertama 1. Bandingkan dengan sebuah kantor kabupaten di wilayah itu, yang dibangun empat lantai, lengkap dengan lift, padahal listrik di sana kembang-kempis.
Buat melayani dunia usaha, Tarakan membangun pusat pelayanan terpadu yang dinamai ”Gadis”—akronim dari gabungan dinas. Izin usaha gampang didapat. ”Dibanding di daerah lain, pelayanan di Tarakan cukup cepat dan mudah,” kata seorang pengusaha kelapa sawit yang enggan ditulis namanya.
Lalu giliran hutan bakau yang dihuni bekantan (monyet dengan hidung seperti jambu air) di tengah kota. Dari 9 hektare, luas hutan itu kini berkembang menjadi 22 hektare. Perjuangan yang tidak mudah. ”Dulu saya menanam bibit-bibit bakau di lahan-lahan yang ada,” kata Dullah Kadir, 71 tahun, yang ikut merintis hutan itu. ”Saya pernah dikejar-kejar penjaga tanah yang membawa parang karena mereka menganggap tanah itu milik perusahaan tempat mereka bekerja.”
Buat membendung gerusan Laut Sulawesi, Tarakan melakukan reklamasi di Pantai Amal Indah sepanjang 2,7 kilometer. Proyek pengurukan kembali daratan selebar 40 meter ini masih berlangsung. Tempat itu, menurut rencana, akan dijadikan kawasan bebas emisi dan bebas polusi. Kelak hanya pejalan kaki serta pengendara sepeda dan kendaraan tak bermotor lainnya yang boleh masuk.
Jusuf juga menyulap kawasan-kawasan tak berguna menjadi taman kota. Setidaknya ada tiga taman di kota ini, dan satu di antaranya dibuat di lahan bekas kebun kangkung. Semua taman dilengkapi fasilitas hotspot, dengan deretan bangku untuk pengunjung. Taman itu menghidupi para pedagang makanan dan minuman setempat. ”Saking senangnya membuat taman, dulu Pak Wali Kota pernah dijuluki ’wagiman’, wali kota gila taman,” ujar Untung, pegawai negeri di kota ini.
Pada 2004, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tarakan kembali memilihnya menjadi wali kota. Di bawah kepemimpinannya, Tarakan memperoleh 40-an penghargaan—termasuk Kalpataru. Yang paling mengesankan dari semua itu adalah pertumbuhan ekonomi yang selalu di atas rata-rata nasional sejak 2001. Di akhir periode pertamanya, Tarakan bahkan mencatat pertumbuhan tertinggi nasional: 12,71 persen.
Dengan sejumlah gebrakannya itu, Mei lalu Partai Golkar mengajukannya menjadi calon Gubernur Kalimantan Timur. Sayang, ia dan pasangannya kurang beruntung.
Andi Mallarangeng, juru bicara kepresidenan, yang ikut merintis model otonomi daerah, menilai Jusuf sebagai wali kota yang bisa memanfaatkan distribusi kekuasaan ke daerah. ”Dia kepala daerah yang sukses, cepat mengambil peluang otonomi untuk membangun wilayahnya. Dulu Tarakan nol, sekarang perlu dipertimbangkan.”
Dua periode kepemimpinannya akan berakhir Maret tahun depan. Singa kecil yang diimpikannya itu belum lahir. Dan kemungkinan obsesi itu menjadi kenyataan bergantung pada wali kota setelah Jusuf Kasim.
Luas: 250,8 kilometer persegi (darat) dan 406,53 kilometer persegi (laut)
Penduduk: 176.981 jiwa
Desa 20
Potensi Daerah: Pembangunan kota baru, satelit kota, pariwisata, perikanan, pembangkit listrik tenaga batu bara, perkebunan
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
95,5
56,6
56,8
Anggaran Belanja
451,7
672
1.109
Pendapatan per Kapita(Juta Rupiah)
2005: 17,7%
2006: 15,8%
2007: 17,61%
JUSUF SERANG KASIM Tempat dan tanggal lahir: Tarakan, 2 Februari 1944
Pendidikan:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar
Karier:
Kepala Puskesmas Mamburungan, Tarakan (1976-1982)
Direktur Rumah Sakit Umum Tarakan (1987-1995)
Direktur Rumah Sakit Umum Abdul Wahab Syahranie, Samarinda (1995-1999)
Direktur Rumah Sakit Islam Aisyah, Samarinda (1999)
Wali Kota Tarakan dua periode (1999-2009)

Sepuluh Bupati Teladan 2008

Sepuluh bupati dan wali kota pilihan Teladan 2008

JUSUF SERANG KASIM, WALI KOTA TARAKAN
Mimpi Melahirkan Singa Kecil
Puluhan tahun memimpin rumah sakit, Wali Kota Jusuf Serang Kasim berhasil menyembuhkan Tarakan dari sejumlah penyakit kronis.

HERRY ZUDIANTO, WALI KOTA YOGYAKARTA
Menata dari yang Sederhana
Dia menjalankan pemerintahan dengan transparan, partisipatif, egaliter, dan akuntabel. Yogyakarta tumbuh kian urban.

DAVID BOBIHOE AKIB, BUPATI GORONTALO
Khayal dari Tepian Limboto
David Bobihoe Akib membawa perlengkapan mandi serta kasur lipat ke pelosok demi ”government mobile”. Memilih independen, tanpa partai.

ANDI HATTA MARAKARMA, BUPATI LUWU TIMUR
Sebuah Lumbung Nun di Timur
Berkat taktik ”desa mengepung kota”, Luwu Timur jadi lumbung padi Sulawesi Selatan. Anak tak sekolah, Orang tua kena Sanksi.

SUYANTO, BUPATI JOMBANG
Ada Tenggat di Alun-Alun
Jombang berhasil mengembangkan pusat kesehatan masyarakat setara dengan rumah sakit kecil. Dokter spesialis tersedia hingga di pedesaan.

A.A. GDE AGUNG, BUPATI BADUNG
Agar Seimbang Selatan-Utara
Bupati Badung A.A. Gde Agung menjaga keseimbangan antara kawasan utara dan selatan. Menggiatkan usaha pertanian.

JOKO WIDODO, WALI KOTA SURAKARTA
Wali Kaki Lima
Di banyak daerah, pedagang kaki lima digusur dan dikejar-kejar. Di Surakarta, mereka dijamu makan Wali Kota.

UNTUNG SARONO WIYONO SUKARNO, WALI KOTA SRAGEN
Dalang kota Digital
Semua desa dan kecamatan terhubung dalam jaringan Internet. Mendalang jadi ajang penyebaran program.

ILHAM ARIF SIRAJUDDIN, WALI KOTA MAKASSAR
Cerita dari Pantai Cinta
Ia memulai karier dengan kebijakan tak populer. Akhirnya dekat di hati rakyat.

DJAROT SAIFUL HIDAYAT, WALI KOTA BLITAR
Dengan Belimbing dan Kendang Jimbe
Di tangannya, birokrasi Kota Blitar jadi ramping. industri kecil diproteksi, mal tak boleh masuk.

Menata dari yang Sederhana (Walikota YogyaKarta)


HERRY ZUDIANTO, WALI KOTA YOGYAKARTAMenata dari yang Sederhana
Dia menjalankan pemerintahan dengan transparan, partisipatif, egaliter, dan akuntabel. Yogyakarta tumbuh kian urban.
KEINGINAN Herry Zudianto setelah terpilih menjadi Wali Kota Yogyakarta pada 2001 sederhana saja: jalanan terang pada malam hari. Sebagai akuntan dan pengusaha—ia pemilik Wisma Batik Margaria—Herry masygul melihat tagihan setrum Rp 5 miliar tiap tahun tapi kota gelap selepas magrib.
Ternyata itu karena pembayaran listrik dipukul rata. Herry lalu memasang meteran di tiap tiang, sehingga setrum dibayar menurut pemakaian, tagihan pun bisa dipangkas hingga separuhnya. Herry memakai sisa duit untuk membeli lampu dan membuat tiang baru. Kini muncul anekdot: batas kota Yogya adalah lampu terakhir di pinggir jalan.
Yogya pun terang, ramai, hidup hingga ke kampung-kampung—tak hanya di Malioboro. Ekonomi menggeliat. Apalagi setelah Herry mendirikan Dinas Perizinan dengan sistem online yang canggih. Ini satu-satunya dinas perizinan di Indonesia. Nilai investasi naik tiap tahun. Tapi kota kampus ini jadi sesak oleh mobil dan sepeda motor. Polusi dan pendatang tak terbendung. Pada siang hari yang berkelimun di Yogya 1,2 juta orang—dua kali jumlah di malam hari.
Herry, 53 tahun, lalu membuat program Sego Segawe atau naik sepeda ke sekolah dan tempat kerja, plus mewajibkan kantor-kantor menyediakan 10 persen lahan untuk taman dan pohon. Ia agresif membeli tanah untuk dijadikan taman dan ruang publik. Pada 2009, ia membuat jalur khusus sepeda yang melintasi kampung-kampung.
Ia sendiri memberi contoh. Pukul 05.30, tanpa ajudan dan pengawal, ia meluncur dengan sepeda berkeliling kampung, baru kemudian ke kantor. Mobil Suzuki APV pelat merah hanya dipakai saat acara tertentu saja. Mercedes E320 dan Toyota Alphard, tunggangannya sebelum jadi wali kota, sudah lama ngejogrog di garasi rumahnya yang megah di Umbulharjo. Sejak menjadi wali kota, Herry menanggalkan hobi main golf dan menonton balapan Grand Prix. ”Mengejar materi sudah selesai,” kata kader Partai Amanat Nasional ini. ”Sekarang tinggal kepuasan batin.”
Herry seorang yang yakin demokrasi bisa menyelesaikan banyak soal. ”Keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas adalah kuncinya,” tulisnya dalam buku Kekuasaan Sebagai Wakaf Politik (2008). Seperti perusahaan publik, ia mengumumkan laporan keuangan di koran plus hasil audit tahun sebelumnya. Masyarakat, dengan begitu, bisa mengontrol anggaran dan mengetahui ke mana saja duit itu dibelanjakan.
Semua saluran komunikasi juga dibuka. Telepon seluler Herry tak henti bergetar menerima keluhan warga, surat elektronik kantornya kebanjiran 200 surat tiap hari, blog pribadinya dipenuhi puluhan pesan. Dari sana Herry tahu apa masalah paling krusial dan dari mana memulai solusinya. ”Ia wali kota paling responsif,” kata Idham Ibty, Manajer Regional Kemitraan Yogyakarta. Pendidikan, kesehatan, dan permukiman adalah problem utama kota urban ini.
Di pinggir Kali Code kini berdiri lima unit rumah susun empat lantai yang rapi dan resik. Sejak 2006, anggaran pendidikan sudah di atas 20 persen. Herry mengimbanginya dengan kebijakan yang melarang pungutan dan uang gedung dibicarakan sebelum ujian masuk. Cara ini ampuh mencegah sogok orang tua siswa, dan sekolah favorit tak hanya diisi anak orang kaya.
Juga kesehatan. Ada Rumah Gizi di tiap kelurahan dengan jasa konsultasi ibu hamil gratis. Sebanyak 10 persen anggaran disediakan untuk jaminan kesehatan, subsidi obat, santunan kematian, ambulans gratis. Kas Yogya mengucurkan Rp 5 juta per kecamatan guna menangani anak telantar.
Untuk urusan publik begitu banyak ini, apa boleh buat, anggaran Yogya defisit Rp 71 miliar. Apalagi belanja pegawai menghabiskan separuh pendapatan yang baru Rp 679 miliar. ”Birokrasi ini masalah paling berat,” kata Bambang Purwoko, dosen Ilmu Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada. Herry harus menghela birokrasi yang gemuk itu untuk mengikuti ritme kerjanya yang tangkas. Ia masygul melihat anak buahnya memperlakukan jabatan sebagai simbol status.
Herry mengubahnya. Ia menanamkan sikap egaliter. Semua keputusan digodok bersama: anak buah diwajibkan menyampaikan ide, saran, dan pendapat. Herry tak sungkan berbagi rokok dengan stafnya. ”Di bawah dia, kami enjoy bekerja,” kata Emiliani Yulianti, pegawai Badan Informasi Daerah. Tapi ada juga yang bilang Herry terlalu serius jadi wali kota.
Meski defisit, Herry selalu ingin membuat terobosan dengan tetap mempertahankan Yogya sebagai kota pendidikan, wisata, dan budaya. Ia pun membuat Taman Pintar di tenggara Malioboro atau depan gedung Bank Indonesia. Wahana permainan anak-anak ini dibuat modern untuk mengenalkan ilmu dan teknologi dan digratiskan untuk anak-anak miskin. Pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikannya.
Lokasinya di bekas Shopping Center Sasana Triguna, pasar buku bekas dan tempat mangkal pedagang sayuran yang semrawut. Dua wali kota sebelumnya tak sanggup memindahkan 300 pedagang dari sana. Dengan dialog yang panjang dan alot, Herry bisa menggeser mereka ke gedung tiga lantai di sebelahnya. Rapi, bersih, nyaman.
Dengan semua pencapaian itu, selama tujuh tahun memimpin Yogyakarta, Herry menggondol tak kurang dari 30 penghargaan untuk banyak bidang: dari sanitasi sampai transparansi, dari edukasi sampai investasi. Karena itu, ketika pemilihan langsung wali kota pada 2006, Herry kembali terpilih. ”Saya pilih dia karena kerjanya jelas: bikin Yogya ramai,” kata Supriyanto, 52 tahun, pedagang angkringan di Jalan Solo.
Luas : 32,5 kilometer persegi
Penduduk : 526.971 jiwa (2007)
Keluarga Miskin: 26.685 keluarga (89.818 jiwa) dari total 107.686 keluarga (2007)
Desa : 45
Potensi Ekonomi: Pariwisata
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

Pendapatan Asli Daerah
2006 = 96,4
2007 = 114,1
2008 = 119,3
Anggaran Belanja
2006 = 496,8
2007 = 569,1
2008 = 750,9
Pertumbuhan Ekonomi
2005: 4,87%
2006: 4,13%
2007: 5,12%
HERRY ZUDIANTO
Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 31 Maret 1955 Pendidikan: - Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada (1974, tak selesai) - Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1981) - Magister Manajemen Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1997) Karier: Auditor Internal PT Kusumohadi (Batik Danar Hadi), Solo (1980-1981) - pendiri Wisma Batik Margaria, Yogyakarta (1981) - Wali Kota Yogyakarta dua periode (2001-2011) Penghargaan: 30 penghargaan di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, e-government, otonomi, transparansi, dan pemerintahan bersih.

Walikota Teladan dari Solo

JOKO WIDODO WALI KOTA SURAKARTAWali Kaki Lima
Di banyak daerah, pedagang kaki lima digusur dan dikejar-kejar. Di Surakarta, mereka dijamu makan Wali Kota.
SEMUANYA berawal pada 2005. Joko Widodo, yang baru dilantik menjadi Wali Kota Surakarta, membentuk tim kecil untuk mensurvei keinginan warga kota di tepian Sungai Bengawan itu. Hasilnya: kebanyakan orang Solo ingin pedagang kaki lima yang memenuhi jalan dan taman di pusat kota disingkirkan.
Joko bingung. Ia tak ingin menempuh cara gampang: panggil polisi dan tentara, lalu usir pedagang itu pergi. ”Dagangan itu hidup mereka. Bukan cuma perut sendiri, tapi juga keluarga, anak-anak,” katanya.
Tak bisa tidak: pedagang itu harus direlokasi. Tapi bagaimana caranya? Tiga wali kota sebelumnya angkat tangan. Para pedagang kaki lima mengancam akan membakar kantor wali kota kalau digusur. Di Solo, ancaman bakar bukan omong kosong. Sejak dibangun, kantor wali kota sudah dua kali—1998 dan 1999—dihanguskan massa.
Lalu muncul ide: untuk meluluhkan hati para pedagang, mereka harus diajak makan bersama. Dalam bisnis, jamuan makan yang sukses biasanya berakhir dengan kontrak yang bagus. Sebagai eksportir mebel 18 tahun, Joko tahu betul ampuhnya ”lobi meja makan”.
Rencana disusun. Target pertama adalah kaki lima di daerah Banjarsari—kawasan paling elite di Solo. Di sana ada 989 pedagang yang bergabung dalam 11 paguyuban.
Aksi dimulai. Para koordinator paguyuban diajak makan siang di Loji Gandrung, rumah dinas wali kota. Tahu hendak dipindahkan, mereka datang membawa pengutus lembaga swadaya masyarakat. Joko menahan diri. Seusai makan, dia mempersilakan mereka pulang. Para pedagang kaki lima kecele. ”Enggak ada dialog, Pak?” tanya mereka. ”Enggak. Cuma makan siang, kok,” jawab Joko.
Tiga hari kemudian, mereka kembali diundang. Lagi-lagi cuma SMP—sudah makan pulang. Ini berlangsung terus selama tujuh bulan. Baru pada jamuan ke-54—saat itu semua pedagang kaki lima yang hendak dipindahkan hadir—Joko mengutarakan niatnya. ”Bapak-bapak hendak saya pindahkan,” katanya. Tak ada yang membantah.
Para pedagang minta jaminan, di tempat yang baru, mereka tidak kehilangan pembeli. Joko tak berani. Dia cuma berjanji akan mengiklankan Pasar Klitikan—yang khusus dibangun untuk relokasi—selama empat bulan di televisi dan media cetak lokal. Janji itu dia tepati. Pemerintah kota juga memperlebar jalan ke sana dan membuat satu trayek angkutan kota.
Terakhir, mereka minta kios diberikan gratis. ”Ini berat. Saya sempat tarik-ulur dengan Dewan,” kata Joko. Untungnya, Dewan bisa diyakinkan dan setuju. Jadilah para pedagang tak mengeluarkan uang untuk kios barunya. Sebagai gantinya, para pedagang harus membayar retribusi Rp 2.600 per hari. Joko yakin dalam delapan setengah tahun modal pemerintah Rp 9,8 miliar bisa kembali.
Boyongan pedagang dari Banjarsari ke Pasar Klitikan pada pertengahan tahun lalu berlangsung meriah. Bukannya dikejar-kejar seperti di kota lain, mereka pindah dengan senyum rasa bangga. Semua pedagang mengenakan pakaian adat Solo dan menyunggi tumpeng—simbol kemakmuran. Mereka juga dikawal prajurit keraton berpakaian lengkap.
”Orang bilang mereka nurut saya karena sudah diajak makan. Itu salah. Yang benar itu karena mereka diwongke, dimanusiakan,” kata Joko. Diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menurut Joko, membela wong cilik sebenarnya bukan perkara sulit. ”Gampang. Pokoknya, pimpin dengan hati. Hadapi mereka sebagai sesama, bukan sampah,” katanya.
Kini warga Solo kembali menikmati jalan yang bersih, indah, dan teratur. Monumen Juang 1945 di Banjarsari kembali menjadi ruang terbuka hijau yang nyaman.
Berhasil dengan Banjarsari, Joko merambah kaki lima di wilayah lain. Untuk yang berada di jalan depan Stadion Manahan, sekitar 180 pedagang, dibuatkan shelter dan gerobak. Penjual makanan yang terkenal enak di beberapa wilayah dikumpulkan di Gladag Langen Bogan Solo, Gandekan. Lokasi kuliner yang hanya buka pada malam hari dengan menutup separuh Jalan Mayor Sunaryo tersebut sekarang menjadi tempat jajan paling ramai di kota itu.
Hingga kini, 52 persen dari 5.718 pedagang kaki lima sudah ditata. Sisanya mulai mendesak pemerintah kota agar diurus juga. ”Sekarang kami yang kewalahan karena belum punya dana,” kata Joko, tertawa. Tapi rencana terus jalan. Januari mendatang, misalnya, akan dibuat Pasar Malam di depan Mangkunegaran untuk 450 penjual barang kerajinan.
Joko juga punya perhatian khusus pada pasar-pasar tradisional yang selama 30-an tahun tak pernah diurus. Tiga tahun terakhir, 12 pasar tradisional ditata dan dibangun ulang. Targetnya, ketika masa jabatannya berakhir pada 2010, sebagian besar dari 38 pasar tradisional Solo telah dibangun ulang.
Ketika masih mengelola sendiri usaha mebelnya, Joko sering bepergian untuk pameran. Dia banyak melihat pasar di negara lain. Di Hong Kong dan Cina, menurutnya, pengunjung pasar jauh lebih banyak dari mal. Itu karena pasar tradisional komplet, segar, dan jauh lebih murah.
Di sini kebalikan. Ibu-ibu lebih suka ke mal karena pasarnya kotor dan berbau. ”Makanya pasar saya benahi,” katanya. Agar lebih menarik, tahun depan akan dibuat promosi: belanja di pasar dapat hadiah mobil.
Toh, tak sia-sia Joko ngopeni pedagang kecil. Meski modal cetek, pasar dan kaki lima di Solo paling banyak merekrut tenaga kerja. Mereka juga penyumbang terbesar pendapatan asli daerah. Tahun ini nilai pajak dan retribusi dari sektor itu mencapai Rp 14,2 miliar. Jauh lebih besar dibanding hotel, Rp 4 miliar, atau terminal, yang hanya Rp 3 miliar.
Luas: 44,04 kilometer persegi
Penduduk: 534.540 jiwa (2007)
Angka Kemiskinan: 29.764 keluarga, 105.603 jiwa (2007)
Kelurahan: 51
Potensi Ekonomi: Usaha kecil dan menengah
Belanja Daerah Vs Pendapatan (Miliar Rupiah)

2005
2006
2007
Pendapatan Asli Daerah
66,1
78,6
88
Anggaran Belanja
351,6
496,2
639,6
Pendapatan per Kapita (Juta Rupiah)
2005: 10,5
2006: 12,1
2007: 13,4
Joko Widodo Tempat dan tanggal lahir: Surakarta, 21 Juni 1961 Pendidikan: Sarjana Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1985) Karier: - Pendiri Koperasi Pengembangan Industri Kecil Solo (1990) - Ketua Bidang Pertambangan dan Energi Kamar Dagang dan Industri Surakarta (1992-1996) - Ketua Asosiasi Permebelan dan Industri Kerajinan Indonesia Surakarta (2002-2007) - Wali Kota Surakarta (2005-2010) Penghargaan: - Kota Pro-Investasi dari Badan Penanaman Modal Daerah Jawa Tengah - Kota Layak Anak dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan - Wahana Nugraha dari Departemen Perhubungan - Sanitasi dan Penataan Permukiman Kumuh dari Departemen Pekerjaan Umum

10 Bupati dan Wali Kota Pilihan Tempo 2008

JAKARTA -- Menutup tahun 2008, Majalah Berita Mingguan Tempo memilih 10 bupati atau wali kota sebagai Tokoh Tempo 2008. Ini merupakan hasil seleksi Tempo dengan tim juri selama tiga bulan terhadap lebih dari 300 wali kota dan bupati.
Ke-10 tokoh terbaik itu adalah Wali Kota Solo Joko Widodo, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, Bupati Sragen Untung Sarono Wiyono Sukarno, Wali Kota Blitar Djarot Syaiful Hidajat, Bupati Jombang Suyanto, Bupati Badung Anak Agung Gde Agung, Wali Kota Tarakan Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Makassar Ilham Arif Sirajuddin, Bupati Luwu Timur Andi Hatta Marakarma, dan Bupati Gorontalo David Bobihoe.
Kriteria yang dipilih untuk menyeleksi para calon Tokoh Tempo 2008 adalah pelayanan publik, transparansi, dan keramahan pada dunia usaha. Kriteria ini disetujui oleh tim juri yang terdiri atas Doktor Andi Mallarangeng, Sekretaris Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudi (ketua), Staf Ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Doktor Sondi Anwar, Profesor Robert Simanjutak dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, serta Utama Karjo dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Bagi Tempo, gagasan untuk memilih 10 tokoh dari kalangan bupati dan wali kota dari 472 kabupaten dan kota madya berangkat dari keyakinan bahwa masih ada orang yang bekerja bersih dan jujur di negeri ini.
Selama ini memang banyak anggapan miring tentang otonomi daerah sebagai desentralisasi korupsi dan munculnya raja-raja kecil. Data dari Departemen Dalam Negeri mencatat pada 2004-2006 telah keluar 67 surat izin pemeriksaan untuk bupati dan wali kota. Sampai Maret 2007, sudah 61 kepala daerah jadi terpidana. Seorang bupati masuk hotel prodeo.
"Pemimpin itu tak perlu cerdas sekali. Yang penting lurus hati, mulai berpikir sampai berbuat," ujar Bupati Jombang Suyanto kepada Tempo.
Bupati yang mengaku hanya menghabiskan Rp 40 juta untuk pemilihan kepala daerah itu telah mengundang dokter-dokter spesialis berpraktek di pusat kesehatan masyarakat. Ia juga menggratiskan biaya sekolah hingga sekolah tingkat atas.
Untung Sarono lain lagi. Ia menghubungkan semua desa di Kabupaten Sragen dengan jaringan Internet. Di tangan pengusaha minyak dan gas itu, efisiensi pemerintahan meningkat pesat.
Sedangkan Joko Widodo memilih jalan memanusiakan warganya, yakni pedagang kaki lima, saat melakukan pemindahan. Ia lebih dulu mengundang makan para pelaku sektor informal itu. Joko baru yakin pedagang siap dipindahkan setelah 54 kali mengundang mereka makan. TIM TEMPO