Wednesday, December 31, 2008

Guru Fisika Teladan Mendahului Kita


RSUD Saiful Anwar Malang, Ruang 21 Kamar Nomor 6, hari Rabu (3/12/ 2008), sekitar pukul 13.30 WIB.
Begitu memasuki ruangan tersebut, sosok pria yang saya kenal baik langsung menyambut dengan senyuman. Dua jempol tangannya diacungkan.
“Assalamu alaikum”, saya menyapa.
Saya menghampiri pria tersebut, menjabat tangan dan memeluknya. Saya ingin menggenggam tangannya lebih erat lagi, tapi saya mengurungkannya karena tangan tersebut sedang diinfus.
Pak Tjandra Heruawan (guru SMAN 10 Malang) dan Mohammad Ihsan (Sekjen Klub Guru Indonesia). Meski sakit, tetap berusaha tersenyum.
Pria yang tergolek sakit itu adalah Pak Tjandra Heruawan, “guru hebat” SMAN 10 Malang. Saya pertama kali menyaksikan kehebatan Pak Tjandra di Kick Andy. Selang beberapa waktu kemudian, dua sahabat baik saya, Ahmad Rizali dan Satria Dharma, mengenalkan secara langsung ketika kami sama-sama di Malang.
Jika Anda belum sempat nonton Kick Andy tersebut, video acara ini beredar luas di internet, salah satunya di Youtube (klik untuk melihat arsip video Kick Andy). Coba juga ketikkan “Tjandra Heruawan” di Google, informasi kiprah guru fisika yang satu ini tersedia cukup banyak untuk dibaca, di antaranya:
- Tjandra Heru Awan, Guru Kreatif Pencipta Peraga Fisika dari Barang Bekas (Indo Pos, 23 November 2007)- Tjandra, Mengajar dengan Hati (Liputan6.com)- Tjandra Heru Awan: Alat Praktek Barang Bekas (Pena Pendidikan)- Lihat Tumpukan Kardus, Langsung Terbayang Rumus (Dapat Hadiah Ibadah Haji dari Medco Foundation)- Tjandra Heru Awan, Pecipta Alat Peraga Sederhana, Namai Karyanya Molina, Molibandul dan SS10N (Fisika.net), dan banyak lagi lainnyaPak Tjandra adalah sosok yang humoris. “Saya ini guru yang TOP, mas”, katanya suatu kali. “Tuwek (tua), Ompong, Populer”. Kami berdua pun tertawa lebar. Pak Tjandra lalu memamerkan giginya yang sudah tak ompong lagi karena dibelikan Pak Shofwan, Kepala Diknas Malang.
Tapi, kini Pak Tjandra sedang sakit keras. Di ginjalnya bersarang tumor, bahkan sudah menjalar hingga paru-paru. Saya melihat sendiri bahwa itu sungguh sakit, karena sesekali saat kami berbincang beliau berhenti bicara, lalu meringis kesakitan dan memejamkan matanya. Seperti menahan serangan sakit yang amat sangat. “Terasa sakit pak?” saya bertanya. “Bagian mana yang sakit?”Pak Tjandra menunjuk pinggang kirinya. “Sering kambuh sakitnya?”“Iya. Apalagi pas batuk. Sakit sekali”. Saya terdiam.
“Ini peringatan dari Alloh, mas Ihsan”. Beliau mengisahkan cerita kenakalannya waktu muda. Ada penyesalan mendalam. Tak sadar air matanya mulai menetes. “Saya berdoa, Ya Alloh berilah saya rizki dan kesehatan. Tapi begitu diberi sehat, saya racuni dengan nikotin. Begitu dapat rizki, saya membakarnya”. Sebelum ini Pak Tjandra memang perokok. Tapi sudah berhenti sejak Ramadhan lalu. Tumor yang bersarang itu boleh jadi karena rokok yang dihisapnya selama bertahun tahun semenjak kecil.
“Sabar ya Pak”, saya menghibur. “Orang yang diberi sakit, lalu bersabar, itu akan melebur dosa-dosanya di masa lalu”.“Iya, mas. Alhamdulillah saya juga sudah sampai Madinah”. Pak Tjandra memang mendapatkan hadiah beribadah haji dari Medco Foundation. Saya melihat ekspresi kegembiraan saat beliau menceritakan perjalanan hajinya, dimana beliau katanya bisa bertaubat di tanah suci.Sebenarnya salah satu maksud saya membesuk Pak Tjandra kemarin adalah ingin mendapatkan kejelasan secara lengkap status sakitnya. Seberapa parah. Apa yang harus dilakukan. Apa yang masih kurang. Apa yang perlu dibantu. Tapi bahkan Pak Tjandra sendiripun jarang ketemu dokternya. Hanya perawat yang sering ke ruangan Pak Tjandra.Saya ingat beberapa hari sebelumnya sempat telpon, “Kapan operasinya, Pak Tjandra?”. Di rumah sakit sebelumnya (Pak Tjandra menyebutnya rumah sakit tentara), keputusannya memang harus segera dioperasi, tapi karena fasilitas di rumah sakit tersebut tidak memadai maka dirujuk ke RSUD Saiful Anwar. Jawaban Pak Tjandra cukup mengejutkan, “Nggak tahu mas, mungkin karena saya pakai Askes jadi penanganannya juga lambat”“Nggak coba dirawat di Surabaya?”. Saya kembali bertanya.“Biaya dari mana, mas?”, jawabnya. Saya terdiam.

No comments: