Monday, December 24, 2007

Warung Jujur

Oleh Sabrul Jamil
Salah satu kampus tempat saya mengajar mempunyai suatu sudut yang cukup unik dan menggelitik. Sudut tersebut adalah sebuah warung. Namun bukan warung sembarang warung. Karena tidak sebagaimana lazimnya warung, tempat tersebut tidak memiliki penjaga, pelayan atau satu manusia pun yang bertugas mengawasi warung tersebut.
Para pembeli dipersilakan mengambil sendiri barang yang diinginkan, yang terdiri dari beraneka makanan ringan, minuman ringan, dan hal-hal lainnya yang ringan di kantong (maklum, untuk konsumsi mahasiswa). Sementara itu uang pembelian diletakkan di kotak kardus bekas salah satu makanan ringan. Kalau perlu uang kembalian juga tinggal hitung sendiri, dan ambil sendiri. Praktis sekali bukan?
Secara periodik, si pemilik warung yang tak lain adalah Office Boy (Anda tentu tahu jenis profesi yang satu ini) akan mengupdate stok barangnya. Mencatat yang sudah habis, dan mengisinya kembali. Daftar harga terpampang di salah satu dinding, dengan tulisan tangan yang tidak bagus namun cukup jelas terbaca.
Cara ini sudah berjalan berbulan-bulan, yang menandakan bahwa bisnis ini mampu bertahan. Artinya, keuntungan dari bisnis cukup memadai untuk membuatnya tetap layak dilanjutkan.
Warung ini diberi nama “Warung Jujur”. Nama yang mengindikasikan bahwa transaksi yang terjadi di sini haruslah berlandaskan kejujuran. Kejujuran juga menyiratkan kesalingpercayaan. Ini juga mengindikasikan bahwa civitas academica di kampus tersebut adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Bahkan, lolosnya ide untuk membuat Warung Jujur tersebut tentu berangkat dari budaya saling mempercayai yang kuat di lingkungan tersebut.
Tidak ada kamera tersembunyi yang dibuat demi “keamanan Anda” sebagaimana di Mall-mall besar dan modern. Tidak ada satpam bertubuh gagah yang diam-diam mengawasi Anda. Juga tidak ada alarm yang akan meraung-raung jika Anda membawa barang tanpa melewati mesin dan petugas kasir. Sungguh efisien! Berapa banyak biaya investasi dan operasional yang dapat dipangkas dengan adanya kejujuran.
Namun, lain di dalam gedung, berbeda pula di luarnya. Di halaman parkir kampus tersebut, bertebaran tulisan peringatan di beberapa tempat: “Harap Gunakan Kunci Pengaman Ganda untuk Kendaraan Anda!” Rupanya sudah beberapa kali terjadi pencurian kendaraan bermotor di pelataran parkir tadi.
(Ngomong-ngomong, berapa banyak tulisan seperti itu Anda temui di pelataran-pelataran parkir?)
Saya jadi teringat artikel Rhenald Kasali di majalah Swa beberapa tahun yang lalu. Berikut petikannya,
Dalam salah satu seminar saya pernah meminta agar para peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas dan meminta rekan di sebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka. Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama orang dari tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka membuat tanda tangan seruwet itu, semuanya menjawab bak koor, "Biar tidak mudah ditiru orang lain. " Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah ditebak jawabnya.
Sejak kecil Kita telah diajari orang-orang tua dan guru-guru Kita agar tidak mudah percaya pada orang lain. "Buatlah tanda tangan yang tidak mudah ditiru agar jangan sampai dipalsukan orang lain. " Kita menurutinya, dan tanpa kita sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran kita.
"Trust, " kata Francis Fukuyama, adalah "the social virtues and the creation of prosperity. " Rasa percaya adalah suatu ikatan sosial yang penting untuk menciptakan kemakmuran. Kalau tidak ada rasa percaya, mestinya tidak ada bisnis. Bagaimana mungkin kita berbisnis dengan orang yang tidak Kita percaya?
Sekian kutipannya.
Salahkah jika kita tidak mudah percaya? Ketidakpercayaan adalah buah dari budaya tidak dapat dipercaya. Jika kita membuat janji bertemu seseorang pada pukul tiga sore, yakinkah Anda bahwa orang itu akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan? Tergantung dengan siapa Anda berjanji. Jika Anda mengenal orang itu sebagai orang yang terbiasa tepat waktu, maka Anda akan merasa yakin bahwa orang itu akan datang tepat waktu. Namun jika Anda tahu orang itu terbiasa ngaret, Anda akan memprediksi ‘ah paling-paling dia ngaret lagi’. Lebih parah dari itu, Anda pun akan berlalai-lalai. Santai aja, telat juga enggak apa-apa. Demikian pikir Anda.
Sebab itu, jangan heran kalau kita terkadang menerapkan standard ganda, jika berjanji dengan Si-A kita bisa santai, tapi janji dengan si-B kita akan ekstra hati-hati. Janji dengan anak untuk pulang cepat mungkin tidak terlalu kita ambil pusing, namun janji bertemu manajer anu pada jam sekian bisa membuat kita pontang panting mengejar waktu. Begitulah kalau kita masih menjadi produk dari budaya atau lingkungan kita. Di budaya yang sangat menghargai kejujuran dan ketepatan waktu, kita bisa melecut diri untuk menjadi jujur, disiplin dan sikap-sikap mulia lainnya. Kita akan merasa malu jika berbuat tidak jujur. Rasa malu itu mungkin sangat subyektif sifatnya. Tidak ada hukuman riil di dunia yang menanti kita. Contohnya adalah di Warung Jujur tadi. Kita merasa malu, sudah diberi kepercayaan untuk berbuat jujur, kok malah nyolong. Lebih jauh lagi, kita merasa yakin bahwa Allah beserta staff-Nya mengawasi kita dengan seksama. Tak satu rupiah pun yang lolos dari auditing. Setiap penipuan akan terdeteksi. Setiap kecurangan akan terungkap.
Namun di budaya dengan tingkat kejujuran yang rendah, kita mencuri-curi kesempatan untuk berlalai-lalai, tidak amanah, dan menipu. Kita melupakan asas utama dalam kejujuran, bahwa ada Allah yang senantiasa mengawasi. Kita tidak lagi peduli walau Allah menjadi tidak suka atau bahkan marah. Ah, itu urusan belakangan. Lebih konyol lagi kita berdalih dengan dalil: “yang lain juga berbuat curang. Kalau enggak ikut curang, yaa enggak kebagian!”
Namun mengingat kejujuran pada hakikatnya adalah urusan kita dengan Allah, seharusnya ia tidaklah mengenal musim dan tempat. Jujur seharusnya menjadi pakaian segala musim, dan mata uang di segala tempat. Biarkan orang lain mengenal kita sebagai orang yang kata-katanya bisa dipegang, janjinya bisa ditepati, dan menunaikan amanah dengan optimal.
Biarkan orang-orang terdekat kita mengenal kita sebagai sosok yang bisa dipercaya. Jika kita berjanji pulang cepat pada anak kita, maka penuhi janji itu. Anak akan belajar bahwa kita senantiasa menepati kata-kata kita. Anak pun akan belajar untuk menepati janjinya. Memiliki anak berakhlaq utama adalah rizki tak ternilai harganya. Kita tak perlu menjadi korban budaya. Di tengah derasnya arus ketidakpercayaan di negeri ini, menjadi orang jujur bisa lebih repot ketimbang berselancar arung jeram. Apalagi kalau tim satu perahu sudah tidak saling percaya.

Iringan Pengantar Jenazah

Oleh Sabrul Jamil
Siang yang sungguh terik. Saya terperangkap kemacetan di salah satu jalan raya ibu kota. Sungguh tidak biasanya. Bukankah sekarang sudah siang? Pikir Saya. Seharusnya sudah di luar jam macet. Seingat saya, daerah ini memang bukan daerah rawan macet. Maka memang luar biasa jika tiba-tiba ia terperangkap di jalur ini. Dengan keringat yang mengucur deras di balik helm, bisa dipahami jika kejengkelan mulai muncul.
Ada beberapa kemungkinan, pikirku. Pertama, ada kecelakaan. Kedua, ada demo. Ketiga, razia. Beberapa saat kemudian Saya menyadari bahwa ketiga tebakanku meleset semua. Ternyata penyebab kemacetan adalah iring-iringan pengantar jenazah. Ada seorang ulama meninggal dunia. Dan sewajarnya jika kemudian ribuan muridnya bergerak mengantarkan jenazah sang guru.
Kejengkelan Saya lumer seketika. Aku memang selalu berusaha menaruh hormat kepada setiap ulama. Kepergian seorang ulama adalah suatu kehilangan besar. Maka kini dengan takzim ia memandang ke arah rombongan iring-iringan pengantar jenazah yang tengah mengambil jalan memutar, memutus jalur yang ia lewati. Sungguh pemandangan yang mengharukan.
Ada berbagai ekspresi yang aku amati. Umumnya adalah wajah-wajah duka. Namun ada pula ekspresi biasa-biasa saja. Mungkin yang berekspresi seperti ini tipe orang yang mampu menyembunyikan kesedihannya.
Tiba-tiba terlintaslah di benakku pesan suci ilahi, (yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun’alaikum, masuklah kamu ke dalam syurga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan. (An Nahl: 32).
Betapa indahnya jika kematianku kelak disambut sapaan demikian mesra dari Allah Swt. Jangan sampai kematian sebagaimana kematian orang-orang kafir, (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan”. (Al-Mu’minuun: 99-100).
Ah, berapa bekal yang telah aku siapkan untuk menghadapi saat yang demikian pasti? Mengingat itu, saya pun merinding. Ya, bukankah kematian adalah sesuatu yang pasti? Setiap hari saya mendengar, kadang melihat, bahkan pernah turut menguburkan kerabat yang wafat. Begitu pastinya kematian. Namun apa yang telah saya siapkan untuk menyongsong itu semua?
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (Ali Imran: 185)
Ya, kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. Begitu terpedayanya sebagian besar manusia, sehingga mereka lupa berbuat untuk akhiratnya. Segala daya, upaya, obsesi, sumber sedih dan bahagianya, semuanya bermuara kepada pencapaian duniawi.
Namun sayangnya, bangsa ini, yang begitu sibuk dengan berbagai perlombaan duniawi, justru begitu rendah pencapaian duniawinya. Buktinya, masih banyak sekali orang-orang miskin di negeri yang sesungguhnya kaya ini. Belum lagi musibah yang terus mendera, yang seolah ingin menggerus dosa-dosa yang ada.
Saya masih termenung. Jika sudah tiba saatnya, seperti yang sekarang ia saksikan di tengah siang yang terik ini, tak ada lagi peluang untuk beramal. Bahkan massa yang ribuan jumlahnya tak satupun yang akan menyertai di alam kubur nanti.
Bagaimana pula dengan manusia yang selama di dunia ini pikiran dan jiwanya hanya berisi obsesi duniawi. Bangun tidur, agenda duniawi yang terpetakan di pikirannya. Sepanjang hari, aksi-aksi duniawi yang dikerjakannya. Menjelang tidur malam, evaluasi duniawi yang disorotinya. Semuanya tentang dunia. Ketika saling bertemu dengan kawan lama, hanya capaian-capaian duniawi yang dibahas. Kerja di mana, anak berapa, tinggal di mana, sudah punya rumah atau belum, kendaraan apa yang dipergunakan.
Tidak pernah ada yang saling bertanya, sudah berapa juz yang berhasil dihapal, masihkah rajin sholat malam, bagaimana shoum sunnahnya, infaqnya masih rutin atau tidak.
Kabarnya, di zaman khalifah Umar bin Abd Azis, beliau berhasil mengubah pembicaraan masyarakatnya. Yang tadinya cuma sibuk membahas masalah duniawi, berubah menjadi masalah ibadah dan akhirat. Apakah kemudian mereka sama sekali melupakan kesibukan duniawi? Sama sekali tidak. Mereka juga bekerja untuk duniawinya. Bahkan pada masa Umar bin Abdul Aziz, yang masyarakatnya gemar beribadah itu, justru sulit ditemukan orang yang berhak menerima zakat, karena tingkat kemakmuran masyarakatnya sudah sedemikian merata. Sekarang, justru di negeri yang penuh dengan kompetisi duniawi ini, kemiskinan dan kesengsaraan bertahta. Sungguh ironi.
Saya menyeka peluh di dahinya. Saya masih teringat ayat yang sudah begitu terkenal, Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Demikian peringatan Allah di surat At Takaatsur: 1-2.
Saya teringat riwayat yang berkenaan dengan ayat ini. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dua qabilah Anshar. Bani Haritsah dan Bani Harts yang saling menyombongkan diri dengan kekayaan dan keturunannya dengan saling bertanya: “Apakah kalian mempunyai pahlawan yang segagah dan secekatan si Anu?” Mereka menyombongkan diri pula dengan kedudukan dan kekayaan orang-orang yang masih hidup. Mereka mengajak pula pergi ke kubur untuk menyombongkan kepahlawanan dari golongannya yang sudah gugur, dengan menunjukkan kuburannya. Ayat ini turun sebagai teguran kepada orang-orang yang hidup bermegah-megah sehingga terlalaikan ibadahnya kepada Allah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Buraidah).
Padahal Allah telah menegaskan bahwa syarat mencapai kesuksesan dunia begitu sederhana.
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Al-A’raaf: 96).
Ah, betapa sungguh meruginya sebagian besar manusia di negeri ini. Dunia tak dapat, akhirat pun tak diraih. Sudah bersusah payah sedemikian keras untuk urusan dunia, sampai mengorbankan ibadah, dan kikir berinfaq, jadi orang kaya pun tidak. Rugi dunia, rugi pula akhirat.
Adakah yang lebih rugi dari ini semua? Saya menghela nafas sedih. Namun, termasuk golongan yang manakah saya? Itulah pertanyaan yang lebih penting.
Iring-iringan jenazah berangsur merenggang. Mendadak ada jalur kecil yang bisa aku lewati. Bergegas, bersama puluhan pengendara motor lainnya, ia menerobos, meliuk-liuk di tengah kepadatan kendaraan lain. Aku masih sempat berpikir, jika segala jerih payah yang aku lakukan ini tak bernilai kebaikan abadi di sisi Allah, sungguh betapa meruginya!

Tauhid dan Rezeki

Oleh Sabrul Jamil
Pukul lima sore sudah lama berlalu. Maghrib memang masih belum waktunya. Sang artis terkenal itu bergegas menunaikan sholat Ashar. Ada perasaan bersalah yang susah payah ditepisnya. Tapi mau bagaimana lagi? Jadualnya memang padat.
Usai sholat, dia berniat berdoa. Bukan karena ada permohonan khusus, melainkan karena kebiasaan atau refeks saja. Namun ada SMS masuk ke telepon selulernya. Dari managernya. Ada order gede, dan dia diminta segera menemui si Bos. Sekarang, karena tidak ada waktu lagi, dan si Bos sangat sibuk. Sang artis dengan cepat memutuskan untuk membatalkan doanya, menuju kendaraan, dan memacunya. Ia tahu maghrib sudah menjelang. Namun ia memutuskan untuk ‘lihat bagaimana nantilah!’
Di perjalanan, adzan berkumandang. Nuraninya pun menyapa lembut, namun gelisah. Begitu tinggikah penghargaannya kepada si Bos? Sebegitu tingginya sehingga mengalahkan penghargaannya kepada Sang Pemberi Rizki? Demikian gugat sang nurani. Perasaan bersalah mengaliri seluruh jiwanya. Ia tahu, ia harus berubah. Ia juga tahu, ia tidak boleh menunda. Akhirnya ia putuskan, jika bertemu Masjid terdekat ia akan berhenti. Bagaimana janji bertemu si Bos? Biarlah Allah yang mengurus rizkinya. Demikian pikir Sang Artis.
Sang Artis menuturkan pengalaman ini kepada saya, yang mendengarkan dengan ta’zim. Sebenarnya Saya jarang bertemu artis manapun, apalagi artis papan atas. Di sisi lain, Saya sendiri memang tidak pernah berkeinginan untuk bertemu artis manapun.
Namun artis yang satu ini memang berbeda. Ia memiliki semangat untuk membantu syiar keIslaman. Walaupun belum sepenuhnya lepas dari kehidupan glamour, namun keinginannya untuk berbuat sesuatu terhadap Islam memancing simpati Saya.
Akhirnya mereka bertemu. Sang artis bersedia memberikan sedikit tausyiah untuk remaja, dengan bayaran yang nyaris gratis untuk ukuran seorang artis. Dan Sang artis pun menceritakan salah satu pengalaman rohaninya, sebagaimana dikisahkan di awal tulisan ini.
* * * * *
“Sebenarnya kisah Artis tadi adalah salah satu pelajaran tentang ketauhidan”, demikian kata salah seorang Ustadz di Masjid tempat saya tinggal.
“Tauhid? Apakah benar sedalam itu, Ustadz?” tanya saya keheranan.
“Ya, cerita tadi memang kecil dan sederhana, namun hakikatnya sungguh dalam. Cerita tadi adalah salah satu fragment tentang ketauhidan. Betapa tidak. Teori tauhid memang mengajarkan kita untuk meyakini bahwa hanya Allah Yang Maha Pemberi Rizki. Namun implementasi tauhid kita sering kali jauh dari itu.
“Kita masih lebih sering ‘memohon’ kepada atasan atau manusia-manusia lain yang kita anggap dapat mengalirkan rizki kepada kita. Kita juga lebih takut kepada mereka. Juga lebih berharap. Di mata kita, mereka sangat berwibawa dan sangat patut dihormati.
“Untuk itu, kadang-kadang kita rela mengorbankan hal-hal yang sebenarnya prinsip. Menggeser-geser, bahkan meninggalkan sholat, hanya karena harus mengejar deadline tugas yang diberikan oleh si Bos, adalah contoh sederhana namun sering kita temui sehari-hari”, demikian urai Sang Ustadz.
“Gejala lainnya adalah kita jadi sering malas berdoa, karena rasanya ‘kurang konkret’. Jauh lebih konkret bekerja dan ‘memohon’ kepada orang-orang yang ‘memberi’ rizki kepada kita.
“Sholat kita pun jadi kering. Kita tidak sungguh-sungguh merasakan kehadiran Allah di hadapan kita. Karena sebelum sholat kita tidak mempersiapkan jiwa untuk memohon dan meminta. Kita tidak menyiapkan proposal apapun ketika menghadap kepadaNya. Kenapa? Karena kita memang tidak sungguh-sungguh merasa menghadap kepadaNya.
“Bandingkan ketika kita membuat proposal fund raising atau pengumpulan dana kepada donatur atau sponsor. Kita menyiapkan segalanya dengan begitu rapih dan detail. Juga apik dan indah. Itu semua kita lakukan karena besarnya harapan kita terhadap pertolongan calon donatur atau sponsor tersebut. ” Sang Usatdz menjelaskan panjang lebar.
“Kadang-kadang, ketika kantor kita melakukan praktek kecurangan, loyalitas kita kepada kantor atau perusahaan tempat kita bekerja lebih kuat dari pada kepada Allah. ” Tandas Sang Ustadz.
Saya dan beberapa jama’ah lainnya manggut-manggut.
“Tapi bukankah Islam mengajarkan kita untuk bekerja profesional dan sungguh-sungguh?” Salah seorang jamaah mencoba mengklarifikasi.
“Betul sekali. Profesional berarti bekerja sesuai standar dan etika profesi yang bersangkutan. Jika profesinya dokter, bekerjalah sesuai standar dan etika kedokteran. Demikian pula arsitek, teknisi, IT, guru, bahkan mungkin da’i. Dan setahu saya, tak satu profesi pun yang mengajarkan kecurangan dan ketidaketisan”, demikian penjelasan Sang Ustadz.
“Kadang-kadang, saya sengaja menunda waktu sholat, karena pekerjaan belum selesai. Saya merasa lebih profesional jika pekerjaan sudah selesai, baru mengerjakan sholat”, orang tadi masih mencoba menjelaskan argumentasinya.
Sang Ustadz tersenyum. Kemudian menjawab dengan tenang, “Sebenarnya memang tergantung profesinya. Kalau profesi Anda adalah seorang dokter, apalagi dokter bedah, memang tidak bijaksana meninggalkan pasien dengan luka menganga. Walaupun sedapat mungkin kita menjadualkan pembedahan dengan perkiraan tidak melampaui waktu sholat. Namun terkadang hal itu memang sulit dilakukan.
“Ada pula profesi pemadam kebakaran, juga polisi yang sedang dalam operasi menangkap pelaku tindak kriminal. Namun itu semua adalah profesi khusus, sehingga memang perlu perlakuan khusus. Sedangkan yang saya maksud dalam penjelasan di atas adalah profesi yang umum, yaitu orang-orang dengan jadual kerja yang teratur. Jam masuk kantornya jelas, jam istirahatnya pasti, begitu pula jam pulangnya. ”
“Ustadz, adakah contoh lain selain menunda-nunda sholat?” Tanya jama’ah yang lain.
“Ada. Misalnya, enggan membayar zakat, apalagi infaq. Kita tahu, zakat itu sudah jelas ukurannya. Sedangkan infaq itu bebas besarnya. Nah, karena begitu takutnya kita akan kekurangan rizki, kita malas mengeluarkan zakat dan infaq. Tanda bahwa kita malas adalah kita ketika kita tidak menyediakan anggaran khusus atau rutin untuk kedua pos itu.
“Kita tidak begitu yakin dengan janji Allah, bahwa DIA akan mencukupi seluruh kebutuhan kita. Kita takut miskin karena berinfaq.
“Jadi, semuanya kembali berakar kepada ketauhidan”, jelas Sang Ustadz.
“Nah, mulai sekarang, bersegeralah setiap kali ada SMS atau calling dari Allah, ” demikian Sang Ustadz mengakhiri penjelasannya, sambil tersenyum.

Ah, Itu Kan Cuma Dosa Kecil!

Oleh Sabrul Jamil
“Ah, itu kan cuma dosa kecil, Mas!”
Ungkapan seperti ini sering terdengar. Entah di lingkungan sekitar rumah, di warung-warung, atau di kalangan pekerja kantoran. Apa yang mereka sebut dosa kecil? Menurut pengalaman saya, gurauan atau candaan yang menyerempet porno sering dianggap hal kecil, dan bumbu dalam pergaulan. Selain itu, yang juga cukup sering dianggap enteng adalah gosip, entah ghibah ataupun namimah.
Sebenarnya, apakah ukuran suatu dosa itu dianggap kecil atau besar? Saya mendiskusikan hal itu dengan jamaah Masjid di dekat rumah.
Salah seorang jamaah menjawab dengan membacakan hadist berikut: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, Shalat lima waktu, dari (shalat) Jumat ke (shalat) Jumat yang lain dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” (HR Muslim no. 233).
Ada pula firmanNya, yang berarti, "(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil" (QS: An Najm: 32).
“Jadi, intinya, ” lanjut salah satu jamaah tadi, “Allah dan RasulNya sendiri yang sudah melakukan pembagian dosa besar dan dosa kecil ini. ”
“Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan siksa khusus seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orangtua, menipu, bersikap jahat kepada kaum muslimin dan lainnya”
“Lalu, bagaimana dengan dosa kecil?” Tanya saya.
Jamaah yang lain menjawab, “Dosa jenis ini terjadi karena sulit bagi kita untuk menghindarinya. Terkadang kita melakukannya pun tanpa sadar. Misalnya, ketika harus berdesak-desakkan di bus atau Kereta, dan tanpa sengaja harus bersentuhan dengan lawan jenis. Kata kunci di sini adalah tanpa sengaja. ”
“Bagaimana kalau sengaja?” Tanya jamaah lainnya, “Apakah masih bisa dianggap dosa kecil?”
Ada yang menjawab, “Para ulama, tentu berdasarkan dalil-dalil, sepakat bahwa besar kecilnya dosa pada dasarnya ditentukan bukan semata-mata dari jenis pekerjaannya. Di sini berlaku ungkapan, bahwa tidak ada dosa kecil selama si pelaku mengangagap remeh dosa tersebut.
“Misalnya seorang laki-laki memandang wanita dan ini adalah zina mata, namun zina mata lebih kecil dari zina kemaluan. Tapi dengan melakukannya terus-menerus maka dia akan menjadi besar. Sebab tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus, sebagaimana dikatakan seorang salaf: 'Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan taubat."
“Dosa kecil pun dapat menjadi besar jika si pelaku justru merasa bangga dengan kelakuannya tersebut. Perasaan bangga gembira dan senang terhadap dosa, menjadikan dosa tersebut menjadi besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut, dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada yang merasa bangga karena bisa melakukan sebuah dosa, padahal kegembiran pada sebuah dosa lebih besar dari dosa itu sendiri. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)
“Misalnya seperi orang yang berkata: Tidakkah kamu tahu bagaiman aku membuntuti fulan dan berhasil melihatnya atau ucapan-ucapan dan perbuatan lainnya yang menunjukkan sikap bangga dan senang atas perbuatan dosa. Maka semua itu menjadikan dosa yang semula kecil menjadi besar.
“Sikap santainya dalam melakukan dosa, tidak adanya rasa takut kepada Allah SWT dan pengawasan-Nya. Perasaan aman dari siksa Allah SWT adalah gambaran dari menyepelekan tabir Allah SWT. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mendatangkan murka Allah SWT. Ibnu Abbas r. A. Berkata: Wahai orang yang berdosa, jangan merasa aman dari akibat buruknya. Tatkala suatu dosa diikuti oleh sesuatu yang lebih besar dari dosa, jika kamu melakukan dosa, tanpa merasa malu terhadap pengawas yang ada di kanan kirimu, maka kamu berdosa, dan menyepelekan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri, …, kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu sudah melakukannya, itu lebih besar dari dosa itu sendiri, kesedihanmu atas suatu dosa ketika ia lepas darimu (tidak dapat melaksanakannya), maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin ketika ia menggerakkan daun pintumu pada saat kamu sedang melakukan dosa serta hatimu tidak pernah risau dengan pengawasan Allah SWT kepadamu, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri."
Saya dan jamaah lainnya mengangguk-angguk. Penjelasan tersebut sudah cukup panjang. Namun ternyata masih ada kelanjutannya.
“Contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan dosa dengan terang-terangan di depan umum atau dengan menceritakannya kepada orang lain padahal jika ia tidak menceritakannya orang lain tidak ada yang tahu, kecuali dia dengan Rabbnya. Dengan sikap ini berarti ia telah mengundang hasrat orang lain untuk melakukan dosa tersebut dan secara tidak langsung ia telah mengajak orang lain untuk ikut melakukannya. Dalam hal ini ia telah melakukan dua hal sekaligus yaitu dosa itu sendiri ditambah mujaharahnya, sehingga dosanya pun menjadi besar.
Rasulullah SAW bersabda, "Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya kecuali orang yang mengekspos dosa-nya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang yang melakukan dosa di malam hari, kemudian pada pagi harinya, padahal Allah SWT telah menutupi dosanya, ia mengatakan: Wahai fulan, tadi malam saya telah melakukan demikian dan demikian. Di malam hari Allah SWT telah menutupi perbuatan dosanya, namun di pagi harinya justru ia sendiri yang menyiarkannya." (HR: Bukhari 5721, Baihaqi 17373, Dailami 4795)
Semua akhirnya terdiam. Mereka sibuk menghitung jejak dosa masing-masing. Jejak dosa yang menyebabkan mereka terhijab dari Allah.
Allah, yang sesungguhnya dekat, jadi terasa jauh, karena terhijab oleh kesalahan dan kelalaian kita sendiri.
= sabruljamil. Multiply. Com =

Bapak Tua Pengangkut Beras

Oleh Sabrul Jamil
Siang hari, suasana pelabuhan Tanjung Priok ini sungguh sangat menyengat. Panas dan gersang sudah merupakan cuaca yang akrab ditemui di sini. Dengan langkah malas aku menuju ke warung nasi terdekat untuk mengisi perut ini.
Terlihat di sekitarku kegiatan bongkar muat di pelabuhan. Kontainer yang naik dan turun dari kapal laut, para pekerja yang sibuk mengangkut barang yang akan dikirimkan, dan para mandor yang sibuk berteriak mengatur para pekerjanya. Truk besar kecil, truk kontainer, forklift dan kendaraan lainnya yang tak hentinya berlalu lalang. Kegiatan di sini tak pernah ada kata diam.
Selesai makan, aku langsung menuju kantorku. "Lebih baik aku di kantor yang sejuk daripada di luar yang sudah pasti panas dan membuat berkeringat ini.
" Ah, sejenak kulihat pekerja-pekerja yang tanpa komando berjalan teratur menuju sebuah kontainer. Rupanya ada perusahaan yang sedang melakukan bongkar muat gula pasir. "Pasti ini impor deh, dan yang sudah pasti ketahuan ruginya dalah para petani gula lokal kita, " batin ini menyelisik.
Angkat karung, turunkan, angkat lagi, turunkan. Kuperhatikan dari jauh apa yang dilakukan pekerja itu. Tunggu dulu, aku lihat seraut wajah bapak tua yang masih menjadi pekerja. Dari garis mukanya kutaksir dia sudah tidak pantas untuk bekerja sekeras ini. Duh, hati ini seperti teriris. Esok lusa aku sempat berpapasan dengan bapak tua itu yang sedang menikmati sarapannya di sebuah gudang tua. Dari perawakannya dia masih tampak bugar walaupun guratan-guratan ketuaan sudah jelas tampak di sana sini. Segera kusapa dia, "Sedang sarapan, Pak?" tanyaku.
"Ya, Dik. Buat isi perut. Adik yang kerja di kantor itu?" dengan logat sunda kulon kental dia balas bertanya sambil menunjuk ke arah kantorku.
"Ya, Pak. Bapak sudah lama kerja di sini?" aku mulai mencari tahu.
"Yah, begitulah. Bapak sudah puluhan tahun di sini. Maklum, pendidikan minim, daripada menganggur. Saya harus menghidupi keluarga, " jawab si Bapak dengan raut sedikit muram.
Sambil membungkus sisa nasi yang tadi dimakan, lalu diselipkan di sela dinding ruangan tempat dia istirahat. Di tempat itu banyak juga pekerja lain yang istirahat di sini.
"Nasinya buat nanti siang lagi, lumayan buat ngirit, " jelas si Bapak tanpa menunggu aku bertanya.
"Saya mengerti, Pak. Semoga Allah memberikan barakah atas setiap rezeki yang Bapak peroleh, " aku menjawab dengan senyum getir dan juga sayatan pilu kembali di hati ini. Sungguh aku terhenyak melihat kenyataan di hadapanku ini.
Si Bapak juga menjelaskan bahwa ia dibayar perkarung yang dia angkat sebesar seratus rupiah. Ya Allah, berapa karung yang harus ia angkat supaya bisa mencukupi kebutuhan keluarganya di kampung sana. Aku langsung terdiam dan merasa malu pada diri ini yang kadang tidak puas akan rezeki yang Allah berikan.
"Alhamdulilllah, kalo bisa bawa pulang dua ratus ribu buat keluarga di rumah, " lanjutnya.
"Makasih, Pak. Nanti kita sambung lagi, " sambil tersenyum aku pamit, karena jam kerja sudah dimulai pagi ini.
Dengan langkah gontai aku kembali ke kantor dan meneruskan pekerjaanku sebagai teknisi. Terekam jelas perdebatan beberapa kawan kerjaku beberapa hari yang lalu yang ingin segera menuntut naik gaji. Pembicaraan yang alot yang kulihat rona wajah penuh ambisi tak berujung di wajah mereka. Sungguh, aku sudah tak bersemangat lagi mengikuti pembicaraan kawan-kawan mengenai hal itu setelah mengobrol dengan si Bapak Tua.
Apakah tidak boleh menuntut kenaikan gaji?
Kalau dasarnya jelas, yaitu adanya peraturan yang mendasari, atau memang ada hak-hak yang terabaikan, tentu saja wajar, bahkan harus. Menuntut hak adalah bukanlah hal yang tercela. Namun jika tuntutan kenaikan gaji hanya karena kebutuhan hidup, tentu tidak akan ada habisnya.
Apalagi jika yang dianggap kebutuhan sebenarnya hanyalah kebutuhan semu. Ia sering melihat sebagian rekannya yang gonta-ganti handphone setiap kali keluar model baru. Tagihan kartu kredit mereka tidak pernah selesai. Bahkan ada yang akhirnya harus pindah kerja alias kabur, karena menghindari kejaran debt collector.
Pada saat sebagian orang harus membanting tulang begitu kerasnya untuk beberapa ratus ribu setiap bulan, ada sebagian yang lain yang membuang-buang uang ratus ribu hanya untuk gengsi.
Semakin tinggi jabatannya, semakin tinggi lagi ‘mainannya’. Kalau para staf rendahan senang gonta-ganti ponsel, para manajer lapis atas senang gonta-ganti kendaraan roda empat. Acara libur keluarga tidak cukup hanya makan bersama di teras rumah, atau jalan-jalan pagi keliling kompleks, melainkan harus sewa villa di Puncak, serta makan di resto yang tagihannya cukup untuk gaji sebulan para kuli angkut.
Padahal, jika nafsu membeli barang-barang mewah dapat ditekan, banyak anak putus sekolah yang bisa kembali melanjutkan pendidikan. Banyak orang sakit yang tidak mampu berobat dapat tertolong. Banyak anak kurang mampu yang tidak harus menghabiskan waktu di jalan untuk mengamen. Banyak pusat-pusat taman bacaan yang dapat berdiri berkat jasa para donatur.
Jika uang untuk kredit mobil yang ketiga dan keempat bisa dialokasikan untuk kegiatan amal, banyak sekolah-sekolah murah berkualitas dapat berdiri, sehingga murah tidak lagi harus identik dengan murahan. Para gurunya dapat mengajar dengan gaji yang layak. Para siswanya mendapat pendidikan yang layak tanpa harus menguras kocek terlalu dalam. Sangat kontras apa yang Allah perlihatkan kepadaku kali ini. Semoga setiap diri ini bisa bersyukur dan istiqomah dalam syukurnya kepada Dzat Yang Maha Pemberi.
"Dan (ingatlah juga), tatkala Allah mengatakan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. " (QS Ibrahim: 7)
Jika kita mau lebih sering melihat ke bawah, kepada orang yang lebih tidak berdaya dari pada kita, kita akan menyadari betapa banyak yang sudah Allah berikan kepada kita, dan berapa banyak yang dapat kita berbuat.